Jumat, 13 Maret 2009

SESAL

Suatu sore terlihat seorang gadis setengah baya duduk di bangku yang terletak di bawah sebuah pohon, semilir angin menerpa tubuhnya, hembusannya menusuk kulit meski tubuh itu terbalut kain, pandangannya tertuju ke depan namun tatapannya kosong, ditangannya sebuah buku berwarna putih dipegangnya erat.
Dulu senyuman selalu tersungging di bibirnya menghiasi hari-harinya, kesepian tak sempat menghampiri karena sebuah kehangatan selalu menyelimuti kehidupannya, hampir tak ada setetes air mata pun yang mengalir, tak ada sayatan luka di hatinya, tak terbesit perasaan bersalah.
Namun kini, semuanya telah berubah, kejadian dan perasaan yang selama ini tak pernah dialami bahkan tak pernah terpikirkan atau terbesit menghampiri kehidupannya, wajahnya yang dulu selalu terlihat ceria telah pudar, meski ia selalu berusaha untuk tersenyum, namun senyuman yang terlihat justru sangat menusuk, seolah dia sedang menyembunyikan kesedihan yang sangat, namun raut wajah itu tak bisa berbohong.
Aku melangkah ragu menghampiri gadis itu, sudah hampir sebulan aku memperhatikannya, setiap sore ia selalu duduk manis disini dengan kondisi yang semakin hari sepertinya semakin memprihatinkan, beberapa waktu lalu kami sempat berkenalan, namanya Mira.
“Hai!” sapaku.
Dia menoleh lalu menyunggingkan kedua ujung bibirnya.
“Boleh…duduk?” tanyaku agak sedikit ragu tapi kali ini aku benar-benar ingin menemaninya dan aku ingin mengetahui hal yang tidak aku ketahui tentangnya, agak sedikit kurang sopan mungkin sikapku ini, penasaran akan kehidupan seseorang yang baru saja kukenal, tapi jujur aku sangat penasaran dan ingin mengetahuinya.
Dia mengangguk.
Aku pun duduk di sampingnya.
Pandangannya kembali tertuju ke depan.
Suasana hening.
“Tempat ini lumayan nyaman juga ya” kataku basa-basi membuka percakapan lebih dulu.
Dia mengangguk tanpa menoleh padaku.
“Sepertinya kamu sering kemari” lanjutku menebak.
Dia kembali mengangguk tanpa bersuara.
Sikapnya masih seperti itu, waktu pertama kali kenal pun seperti itu, dulu dia hanya mengatakan sedang menunggu seseorang.
“Orang yang kamu tunggu sudah datang?” tanyaku.
Dia menggeleng lesu, keputusasaan tersirat di wajahnya tapi dia tetap tak mau menyerah, dia terus saja duduk di sini, tetap menunggu.
“Kamu yakin ia akan datang?” aku kembali bertanya.
Mulutnya masih terbungkam, tidak mengangguk dan tidak pula menggeleng apalagi bersuara, mungkin ragu.
“Persahabatan itu indah” akhirnya dia bicara setelah beberapa saat terbungkam.
“Bagaimana menurutmu?” tanyanya sambil menoleh padaku.
“Ehm…ya, persahabatan itu memang indah, diamana kita bisa saling berbagi baik suka maupun duka” jawabku mengutip kata-kata temanku.
“Tapi bukankah dengan seorang kekasih pun bisa saling berbagi baik suka maupun duka?”
“Sepertinya ada perbedaan.”
“Apa?”
“Ehm….” Aku bingung.
Dia tersenyum menatapku, aku jadi malu, mungkin dia tahu kalau aku hanya asal bicara saja.
“Sahabat itu bisa menerima kita apa adanya, sepenuhnya.”
Aku terdiam menyimak kalimat yang terlontar dari bibirnya barusan.
“Tapi kekasih, belum tentu” dia menggeleng.
Aku mengangguk.
Dia menghela napas.
“Orang yang aku tunggu selama ini tidak akan pernah datang, meski aku selalu berharap, tapi rupanya harapanku sia-sia, semuanya hanya tinggal kenangan” ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis, tapi rupanya air mata itu tak bisa terbendung, dia tertunduk lemah.
Sore itu adalah sore terakhir aku bisa bertemu dengannya, dia pergi ke tempat yang sangat jauh, tapi sebelum pergi dia telah memberikan jawaban dari rasa penasaranku selama ini, mengenai kehidupannya.
Dulu Mira menjalin persahabatan dengan Lia, Reza dan Faisal. Hubungan persahabatan itu bisa terjalin karena mereka memiliki kesamaan, mereka sama-sama suka menulis, makannya mereka aktif mengkordinir kemajuan madding di sekolah, mereka juga sama-sama pencinta alam, saat libur sekolah mereka selalu mengadakan kemah, tidak ada yang disembunyikan dari keempat anak manusia ini, kedekatan terjalin karena mereka tidak pernah merahasiakan sesuatu hal pun, semuanya mereka jalani bersama.
Sampai pada suatu ketika cinta membutakan mata hati Mira, salahnya dia menyembunyikan jalinan kasihnya dari sahabat-sahabatnya, dia mulai tak lagi menyempatkan waktu supaya bisa berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, kadang waktu perjumpaan bentrok sehingga membuatnya bingung dalam memilih, di satu sisi dia tak ingin mengecewakan sahabat-sahabatnya tapi di sisi lain ia pun tak ingin kehilangan seseorang yang baru saja menjadi bagian dari hidupnya.
Serapat-rapatnya bangkai disembunyikan pada akhirnya pasti akan tercium juga, begitu pula dengan hubungan Mira, tentu saja ketiga sahabatnya kesal dengan sikapnya, bukankah diantara mereka tidak boleh ada yang disembunyikan dan Mira telah melanggarnya, namun pada akhirnya dia bisa dimaafkan, hanya saja hubungannya dengan ketiga sahabatnya ini mengalami kerenggangan karena dia selalu menghabiskan waktu bersama sang kekasih, dia tak ingin mengecewakan kekasihnya, dia ingin menjadi yang terbaik.
Suatu hari Lia memintanya untuk menjemputnya karena dia ribut dengan Ayahnya, saat itu Mira baru saja akan pergi nonton bersama kekasihnya, dia terpaksa berbohong pada Lia karena dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini bersama kekasihnya itu.
Hari itu Mira kehilangan Lia untuk selama-lamanya, sahabatnya meninggal karena kecelakaan, tentu saja ia sangat terpukul dan merasa bersalah, andai saja waktu itu dia tidak membohongi Lia, mungkin kejadian ini tak akan terulang, parahnya Reza dan Faisal tahu mengenai ini, kali ini tindakan Mira tak bisa dimaafkan, dengan sikapnya yang demikian telah merenggut nyawa orang dan nyawa itu adalah nyawa sahabatnya, Reza dan Faisal marah besar, mereka tak ingin berhubungan lagi dengan Mira, Mira juga memutuskan hubungannya dengan orang yang selama ini sangat dicintainya, karena cinta yang menghampiri hidupnya telah merenggut nyawa sahabatnya, maka dia tidak pernah mau mengenal yang namanya cinta, rasa bersalah terus saja menghantui kehidupannya, dia telah kehilangan semuanya, sahabat-sahabatnya juga cinta pertamanya, penyesalan pun sepertinya tak ada guna.
Aku menutup buku berwarna putih milik Mira, dia memberikan diarynya ini padaku sebelum dia pergi, sekarang aku tahu semuanya, aku tahu apa yang menyebabkan kesedihan selalu tersirat di wajahnya, tempat ini, tempat dimana setiap sore dia selalu duduk manis disini adalah tempat berkumpul dia bersma ketiga sahabatnya.
Saat aku akan beranjak pergi dari tempat ini tiba-tiba saja aku melihat dua orang lelaki sedang berjalan menuju kemari, aku kembali duduk sambil memeluk diary milik Mira, beberapa saat kemudian mereka sudah berada di sampingku.
“Permisi” salah seorang dari mereka menyapaku.
“Anda…..” dia terdiam tak melanjutkan kata-katanya saat memandang tertegun diary yang kupegang.
“Diry itu…mirip sekali dengan diary milik teman kami.” Katanya tersenyum simpul.
“Anda berdua teman Mira?” tanyaku.
“Reza dan…Faisal?” lanjutku.
Mereka berdua mengangguk terlihat kaget, lalu saling pandang.
Tanpa pikir panjang aku memberikan diary itu pada salah seorang diantara mereka.
“Mira selalu berada disini setiap sore, mungkin orang yang selama ini ditunggunya adalah kalian, bukan seseorang tapi dua orang, dia menulis kisahnya di diary itu dan dia memberikannya padaku sebelum dia pergi” jelasku.
“Dimana Mira sekarang?”
“Dia……” aku terdiam, berat sekali rasanya bibir ini untuk mengatakan kalau Mira telah tiada.
“Dia sudah tidak ada di dunia ini” akhirnya aku bisa mengatakannya.
“Apa?!”
“Ya Tuhan!”
Seandainya mereka bisa lebih awal membuka pintu maaf untuk Mira mungkin mereka tak akan kehilangan Mira dengan perasaan seperti ini, mungkin juga Mira tak akan pergi dengan keadaan seperti ini, semua orang memiliki sifat egois, hanya saja tidak seharusnya keegoisan itu ditanam apalagi dengan mengatasnamakan prinsip, karena hal yang demikian hanya akan menyisakan sebuah penyesalan.

Selasa, 18 November 2008

Tidak ada komentar: