Jumat, 13 Maret 2009

Kisah Lama

Jam menunjukkan pukul sembilan malam, sudah waktunya aku pulang dari tempat aku bekerja yaitu sebuah toko kue, ternyata bekerja di toko kue lumayan menyenangkan, setiap hari bisa melihat kue-kue unik yang sepertinya sangat lezat, tentunya aku belum pernah mencicipi semua kue yang ada disini karena harganya bervariasi, mulai dari harga untuk kalangan menengah sampai ke atas, sedangkan aku hanya bisa mencoba kue-kue yang harganya di bawah rata-rata.
Saat aku keluar dari dalam toko tiba-tiba pandangananku tertuju pada seorang lelaki yang sedang berdiri di samping sebuah BMW berwarna hitam, aku tertegun menatapnya, dia menyunggingkan kedua ujung bibirnya membalas tatapanku, lalu ia berjalan menghampiriku.
“Hampir dua jam lho aku nungguin kamu” katanya.
“Aku antar ya” lanjutnya menggenggam lenganku.
Adrian, seseorang yang belum lama kukenal namun hubungan kami bisa dibilang dekat, kedekatan yang terjalin membuat ia mengungkapkan perasaannya terhadapku, dia menyukaiku.
“Lain kali nggak usah nunggu aku” sahutku sambil melepaskan genggamannya lalu aku melangkah menuju mobilnya, dia terdiam sejenak menatapku.
Selama perjalanan pulang kami saling diam, jujur aku memang sedang memikirkan sesuatu, mengenai perasaanku terhadap Adrian selama ini, entahlah apa aku salah telah menjalin hubungan dengannya, karena ternyata perasaanku terhadapnya biasa-biasa saja, beberapa saat kemudian sampailah di depan rumahku.
“Fi….”
“Aku cape, kamu juga kan? Lebih baik kamu cepat pulang dan istirahat” potongku, aku membuka pintu lalu keluar dari dalam mobilnya bergegas melangkah menuju rumah tanpa menoleh sedikit pun, tanpa mau tahu apa yang ingin dikatakannya, tanpa ingin melihat kepergiannya.
Aku bersandar di balik pintu kamarku, dadaku terasa sesak sekali, aku benar-benar bingung tapi setelah pertemuan beberapa hari lalu cukup membuatku yakin akan perasaanku.
“Tiramisunya satu” pesan seorang lelaki padaku.
Saat mata kami beradu, aku merasa waktu berhenti, jantungku berdetak tak seperti biasanya, tapi jantung ini selalu bedetak seperti ini saat seseorang yang berada di hadapanku adalah orang yang kuanggap sangat istimewa, sudah sekian lama jantung ini tak berdetak seperti ini, dan sekarang kembali terjadi.
“Apa kabar?”
Saat jam makan siang aku luangkan waktu untuk menemaninya .
“Baik, kamu?” tanyaku tanpa melihat wajahnya.
“Aku selalu merasa baik jika ada di dekat kamu.”
“Oh ya? Sayangnya aku nggak.”
“Kamu nggak pintar berbohong Fina.”
Aku mengangkat wajahku yang sedari tertunduk seperti seorang karyawan yang sedang diperingati oleh atasannya karena telah melakukan kesalahan.
“Aku kesini memang sengaja untuk menemuimu” dia membertahu.
“Ada perlu apa?” tanyaku datar.
“Perasaanku tidak pernah berubah Fin.”
Dia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya, sebuah cincin.
“Kamu ingat cincin ini?” katanya.
“Cincin ini milik kamu seperti halnya hati aku” lanjutnya.
Aku hanya terdiam.
“Lupakan aku Al” kataku sambil bergegas pergi meninggalkannya.
“Fin, tunggu!!” dia menarik lenganku.
“Lepas!!”
“Oke, sorry.”
“Kenapa kamu kesini? Kenapa kamu masuk ke kehidupanku lagi? Kenapa kamu….”
“Aku memang selalu ada buat kamu Fin.”
“Tapi kenapa kamu ninggalin aku?!!” bentakku dengan suara bergetar menahan air mata yang sepertinya sudah tak terbendung lagi.
Hampir empat tahun aku menjalin hubungan dengan Aldi, kami saling mencintai dan menyayangi, sekian lama kami menjalin cinta kasih tiba-tiba dia menghancurkan hatiku hingga berkeping-keping, cincin rencana pertunangan kami seolah tak ada artinya.
“Aku akan menikah dengan Hani.”
Kalimat itu yang masih terngiang di telingaku, kalimat itu yang telah menggores hatiku sehingga menyisakan luka yang sangat dalam dan sampai saat ini masih membekas.
“Aku benci kamu Al, aku benci kamu! Aku benci!!!!!” aku berlari pergi meninggalkannya masih menahan tangis.
Keesokan harinya di tempat kerja, tiba-tiba saja Herman, teman baikku dulu datang menemuiku.
“Aldi masih mencintai kamu Fin” katanya.
“Kalau kamu datang kemari untuk mengatakan hal tentang dia, lebih baik kamu pulang!” tegasku sambil berdiri dari tempat dudukku.
“Dia menikahi Hani karena terpaksa.”
Aku terdiam, keningku berkerut.
Aku tahu kalau hubungan Aldi dan Hani memang dekat tapi hanya sebatas teman, tapi keluarga mereka bisa dibilang memang cukup akrab.
“Waktu itu Hani hamil. lelaki yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab, orang tuanya meminta tolong pada Aldi, karena mereka pikir hanya Aldi yang bisa membantu, wanita yang ada dalam hati Aldi hanya kamu Fin.”
Aku terduduk lemas.
“Mereka menikah hanya sampai Hani melahirkan, tapi….” Dia terdiam tak melanjutkan kata-katanya.
“Tapi apa?”
“Hani terjatuh dari tangga lalu keguguran.”
Aku terkejut menutup mulut dengan kedua telapak tanganku.
“Dia merasa sangat bersalah karena telah menghancurkan perasaan kamu juga Aldi, kemudian dia menyuruh Aldi untuk kembali sama kamu karena dia tahu perasaan Aldi hanya untuk kamu.”
“Herman…ak..aku…”
“Aldi sudah pergi meninggalkan kota ini.”
“Ap…apa?”
“Dia menitipkan cincin ini.”
Cincin rencana pertunangan kami dulu, ternyata aku hanya bisa menyimpannya bersama kisahku bersamanya dulu dalam hati.
Siang itu aku sedang duduk santai di depan teras rumah sambil menikmati teh hangat, tiba-tiba terdengar dering telepon.
“Fina, telepon berdering kok nggak diangkat” kata kakakku, lalu mengangkatnya.
“Hallo….”
“Apa?!!!”
Aku menoleh.
“Fin, Aldi kecelakaan……….meninggal.”
“Praaaaak!!!!” gelas di tanganku terjatuh.
Selasa, 3 Januari 2009

Tidak ada komentar: