Rabu, 15 April 2009

Perasaanku akhir-akhir ini benar-benar tak menentu, aku bingung harus berbagi dengan siapa karena ternyata disimpan sendiri begitu menyakitkan dan membuat menderita, kepala rasanya mau meledak, beban ini terasa begitu berat.
Sebenarnya dimana letak kesalahanku sehingga membuat seseorang yang berarti dalam hidupku mendiamkanku seperti ini, apa kesalahanku terlalu besar sehingga dia memperlakukanku begini.
Jujur aku sangat menderita, menderita karena tak dapat melihat senyumannya, candaannya, perhatiannya, ledekannya, semua yang ada pada dirinya untuk sekarang ini aku tak dapat menyaksikan itu semua.
Otakku benar-benar sudah terasa berat...
Setiap kali mengingatnya hanya air mata yang mengalir menahan sakitnya memendam kerinduan, sebenarnya aku tak ingin menjadi sosok yang cengeng dan terlihat begitu lemah, namun ternyata kenyataannya memang begitu, tak bisa dipungkiri batapa rapuhnya aku.
Aku selalu berusaha menahan supaya air mata ini tak menetes tapi rupanya kesakitan selalu menjalari batinku....
Ternyata sesakit ini.....
Aku berharap semuanya bisa berakhir dengan cepat....
Aku merasa sudah tak kuat menahannya, memikulnya sendirian.....
Aku mencintainya....sangat mencintainya...
Begitu menyayanginya....
Sekarang aku tak berharap dia memiliki perasaan yang sama...
Seandainya dia bahagia tanpaku, aku akan berusaha untuk bahagia untuknya dan perasaan ini akan kusimpan untuk mengisi hari-hariku yang semoga dipenuhi dengan kebahagiaan...

Senin, 13 April 2009

perasaanku sekarang ini lagi nggak enak, kenapa? nggak tahu lah, yang jelas kepalaku terasa sangat berat seperti sedang menopang batu besar, pusing sekali, berat sekali, namun aku tak tahu tempat berbagi untuk meringankan beban ini, mungkin hanya dengan menulis merupakan salah satu cara meringankan beban yang selama ini aku pikul sendiri, aku sangat menyayangi seseorang dan tak pernah mau kehilangan dia, tapi sepertinya dia tak mampu terus berada di sisiku, mungkin karena aku sangat menjengkelkan sehingga membuatnya menjadi beban saja, padahal aku ingin sekali membahagiakannya tapi justru aku nggak tahu bagaimana caranya, apa aku benar-benar mencintainya atau hanya ingin memilikinya, bukankah mencintai dan ingin memiliki adalah dua hal yang berbeda??

Senin, 06 April 2009

Jangan Biarkan Aku Pergi

Siang ini seusai kuliah aku mampir ke kantin kampus, sebelumnya kuraih Koran dan memberikan uang seribuan pada kasir, kemudian aku melangkah menuju kursi kosong lalu duduk dan membuka Koran yang baru saja kubeli, berita yang terlampir masih seperti berita-berita seperti hari-hari sebelumnya, seputar kasus korupsi, bencana alam, politik, olahraga.

Tiba-tiba datang dua sosok makhluk yang sudah tidak asing lagi bagiku, Revan yang setelah kuingat-ingat sudah hampir setahun ini menempati ruang khusus di hatiku dan teman dekatnya Aril menghampiriku.

“Nggak ada kuliah lagi?” tanya Revan padaku, sudah tak terhitung berapa kali pertanyaan itu terlontar dari mulutnya, karena pertanyaan itulah yang mengawali perbincangan diantara kami saat bertemu.

Aku menggeleng tanpa mengalihkan pandanganku dari Koran yang ternyata ada satu berita menarik perhatianku tapi tiba-tiba Revan mengambil koranku tanpa meminta ijin terlebih dahulu, aku hanya bisa menghela napas menatapnya, sedangkan dia dengan serius membolak-balik Koran itu tanpa memperdulikanku.

“Masih ada kuliah nggak Ril?” tanyaku pada Aril yang selalu sibuk dengan handphone di tangannya, kalau tidak menelpon pasti mengetik sms.

“Nggak ada” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya karena dia sibuk mengetik sms, mungkin untuk pacarnya.

“Nggak ada berita yang seru” Revan melempar koranku, dia mengambil sebatang rokok dari dalam tasnya segera menyulut lalu menghisapnya.

Aku kembali menatapnya yang bersikap cuek.

“Bentar ya aku mau pesan kopi dulu” kata Aril sambil berlalu dari hadapan kami.

“Kemarin kemana kok nggak masuk?” tanyaku pada Revan yang sepertinya sedang menikmati rokoknya sambil sesekali mengepulkan asap rokok ke arahku, meski aku sudah terbatuk-batuk sambil mengibas-ngibaskan tanganku tapi dia nampak tak perduli, mungkin hal ini salah satu candaannya, bercanda yang sangat merugikan.

“Kerjaanku banyak” jawabnya singkat, dia kuliah sambil kerja dan hasil kerjanya itulah untuk biaya kuliahnya, ini salah satu yang membuatku bangga terhadapnya.

Dia menarik kembali koranku, kini dia membacanya.

Aku menatapnya lekat, entah kenapa aku bisa menyukai seseorang yang sekarang ini sedang duduk di hadapanku, dia yang memiliki banyak kesibukan sehingga tidak punya banyak waktu untukku, dari mulai kuliah, kerja, menghadiri acara organisasi atau komunitas, belum lagi dia memikirkan kehidupannya, ditambah lagi aku yang menjabat sebagai kekasihnya tentu saja harus dipikirkannya pula, tapi apa pernah dia memikirkanku? Kenapa aku bertanya seperti itu, tentu saja dia memikirkanku, kalau tidak mana mungkin dia mencoba menyempatkan waktu di tengah-tengah kesibukannya hanya untuk sekedar menemuiku meski hanya sebentar, dia yang selalu bersikap seenaknya, dia yang bukan tipe cowok romantis, dia yang tak pernah mau mengejarku saat aku pergi dalam keadaan marah, dia yang tidak suka basa-basi, dia yang tidak suka menunggu, dia yang tidak mudah mengucapkan kata maaf, dan dia yang tak kan pernah memberikan satu kesempatan lagi pada orang yang telah melakukan hal yang tak disukainya.

“Kopi datang” kata Aril tiba-tiba, dia mengocek-ngocek kopinya, ponselnya kembali berbunyi tanda sms masuk, kedua alisnya berkerut saat membaca sms itu.

“Aku pergi dulu ya” dia berdiri dari kursinya.

“Mau kemana?” tanya Revan.

“Nanda minta diantar ke rumah temannya” jawab Aril sambil tergesa-gesa lalu pergi.

“Kopinya?!” teriak Revan.

“Buat kamu aja!!” teriaknya pula.

Aku memandang Aril yang berlari dengan cepat meninggalkan kami, sedangkan Revan kembali membaca Koran dengan rokok masih terapit di kedua jarinya.

Aril memang seperti itu, dia selalu ada saat Nanda membutuhkannya, dalam keadaan apa pun, sesibuk apa pun, kadang perasaan iri terbesit di benakku pada Nanda, sepertinya dia sangat beruntung bisa mendapatkan Aril, berbeda sekali dengan sosok Revan, rasanya jahat sekali aku membandingkan antara Revan dengan Aril, meski semua orang tak sama tapi cewek mana sih yang tidak senang mempunyai seseorang seperti sosok Aril, tapi kenapa aku malah menyukai Revan.

“Heh! Kok bengong? Kenapa?”

Aku tersadar dari pikiranku.

“Ehm…nggak, Aril tuh…segitunya ya..sama ceweknya..selalu siap siaga, kopi yang baru di pesannya aja belum sempat di minum tapi langsung pergi aja saat ada sms dari Nanda.”

“Kalau aku sih nggak bakalan mau kecuali kalau emang penting banget, pergi ke rumah teman kan bisa sendiri” katanya lalu kembali tertuju pada Koran di tangannya, itulah Revan, selagi aku bisa melakukan sesuatu hal sendiri, dia tidak akan mau membantuku.

“Kenapa? Kamu pengen punya cowok kayak Aril? Ya udah! Sana! Sama Aril aja.”

Aku terdiam menatapnya.

“Nggak suka punya cowok aku? Atau kamu nyesel? Ya….aku nggak mau membebani kamu, kalau kamu ngerasa nggak nyaman sama aku, kamu boleh kok cari cowok lain.”

Aku masih terdiam menatapnya, dia membalas tatapanku.

“Kok malah cemberut gitu?”

“Aku nggak suka kamu ngomong kayak gitu!”

“Aku cuma nggak mau…..”

“Revan! Nggak ada topik lain ya?!”

Dia menghela napas menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi lalu kembali mengambil sebatang rokok dari dalam tasnya, beberapa detik kemudian asap rokok sudah mengepul di hadapanku.

“Aku nggak mau membebani kamu Aya, aku nggak mungkin membiarkan kamu tetap disisiku padahal kamu merasa nggak nyaman, egois banget kan kalau aku bersikap seperti itu? Jadi ya…aku memberi kebebasan sama kamu.”

“Kenapa kamu selalu bilang seperti itu?”

“Ya…karena aku nggak mau kamu menyesal.”

“Kalau aku menyesal, nggak mungkin kita bisa menjalin hubungan selama ini, aku tahu betul bagaimana kamu dan aku berusaha untuk bisa menerima semua yang ada pada diri kamu tapi kenapa seolah-olah kamu tuh nggak percaya.”

“Bukannya aku nggak percaya, tapi…”

“Aku mau pulang!”

“Pembicaraan kita belum selesai.”

Aku berdiri dari kursiku.

“Kamu jangan kekanak-kanakan gini dong Ya!”

“Apa?! Kekanak-kanakan? Kamu tuh yang keterlaluan!!” kataku sambil berlalu dari hadapannya dan seperti biasa dia tak pernah mengejarku, membiarkanku pergi, dia selalu membiarkanku pergi saat aku marah.

Keesokan harinya Revan datang ke rumahku.

Setelah beberapa lama dalam keheningan akhirnya dia membuka mulut.

“Sory kalau aku nggak bisa jadi cowok kebanyakan, aku nggak bisa selalu ada saat kamu butuhkan karena kamu tahu sendiri kan gimana kegiatanku sehari-hari, jadi aku pengen kamu jujur kalau emang kamu keberatan, kamu boleh cari cowok lain yang mungkin bisa banyak meluangkan waktu untuk menemani kamu.”

“Revan, kamu selalu aja ngomong kayak gitu.”

“Aku nggak mau kalau hubungan kita ternyata hanya menjadi beban buat kamu.”

Aku menghela napas.

“Oke, kadang aku merasa kesepian karena kamu nggak punya banyak waktu buat aku, kadang aku berpikir kenapa kamu nggak bisa jadi cowok kebanyakan, kenapa kamu nggak pernah bersikap manis atau romantis, aku nggak suka sikap kamu yang semau kamu sendiri, aku nggak suka kamu terlalu banyak bercanda, aku nggak suka kamu ngerokok di depan aku, aku nggak suka sikap kamu yang seolah-olah nggak perduli, aku nggak suka kalau kamu bicara kasar, aku nggak suka semua itu!” cerocosku dengan napas terengah-engah, agak sedikit lega rupanya setelah aku mengeluarkan hal yang menjadi unek-unek dalam diriku selama ini.

Dia mengangguk.

“Sekarang semuanya udah jelas, aku ngerti.” Dia berdiri lalu melangkah pergi meninggalkanku.

“Meski aku nggak suka tapi aku bisa menerima semua itu.”

Dia menghentikan langkahnya.

“Karena aku sadar, betapa aku sangat menyayangi kamu dan aku nggak mau kehilangan kamu.”

Dia membalikkan tubuhnya menatapku.

“Tapi kenapa kamu selalu menyuruhku pergi dengan alasan memberikan kebebasan dan nggak mau membebaniku? Kenapa kamu nggak pernah mempertahankan hubungan kita dengan segala kekurangan yang ada? Kenapa kamu nggak pernah bilang supaya aku tetap berada disamping kamu bagaimana pun keadaannya? Kenapa kamu nggak pernah mencoba untuk menghentikan langkahku disaat aku pergi meninggalkan kamu dalam keadaan marah? Kenapa kamu selalu membiarkan aku pergi? Kenapa tidak mencegahku?” sebening air menggenangi kedua bola mataku.

Waktu terasa terhenti dan kami hanya terdiam saling beradu pandang.

Selasa 24 Maret 2009

Jumat, 20 Maret 2009

Seneng banget....akhirnya bisa jalan-jalan juga, padahal udah di depan pintu masuk Tangkuban Perahu, sayang banget cuma nyampe sana nggak diterusin, tapi nggak apa-apa lah yang penting kan udah jalan-jalan, mudah-mudahan lain kali bisa masuk ya......kayaknya seru tuh...!!!!
Kalau dipikir-pikir....egois banget ya kalau aku sampai punya pikiran punya someone spesial yang cuek atau nggak perhatian, hem....kalau dipikir-pikir lagi...dia kurang apa coba? di tengah-tengah kesibukannya, dia selalu menyempatkan waktu buat aku meski hanya sebentar, apa sikapku yang seperti ini tuh...yang disebut kekanak-kanakan???
Ya ampun....sebenarnya dewasa itu seperti apa sih??? yang kayak gimana???!!!!!!!!!!!!!!

Rabu, 18 Maret 2009

my best friend

foto

foto

Nggak tahu deh hari ini aku harus nulis apa, nggak ada inspirasi, ehm..............apa ya?????
Oya..............aku belum pernah lho naik kereta, pengen banget, tapi kapan ya.............nggak ada temen, kalau sendiri kan takut nyasar, gawat!!!!!
Sebenernya aku pengen naik kereta sama...dia, cuma ya....biasa lah dia tuh sibuk banget, nggak bakalan ada waktu, apalagi buat jalan-jalan jauh.....wah!!!!! kayaknya emang harus nunggu tahun "onta" kali ya...???????
Nasib...! nasib...!
Tapi nggak apa-apa lah, mungkin ntar kapan-kapan dia ada waktu luang, meski aku selalu berharap secepatnya, ya.....mau gimana lagi, nggak ada cara lain selain menunggu, padahal sebenarnya menunggu itu adalah hal yang paling membosankan, iya nggak sih????

Senin, 16 Maret 2009

Album


gambar


ini foto spiderman


Pernah nggak sih ngalamin punya cowok yang dia tuh sibuk dengan kerjaan yang seabrek???? hem....bete deh kayaknya punya cowok kayak gitu, pikirannya gak fokus ke kita aja tapi berakar kemana-mana, ya nggak sih?????
Aku salah seorang yang punya pacar kesibukannya seabrek, harus mikirin kuliah, kerjaan, acara-acara organisasi, komunitas, belum lagi punya cewek yang sering bete, itulah aku.
Gimana nggak bete coba, kalau mau jalan aja harus ngatur waktu jauh-jauh hari, harus bikin perencanaan, harus tentu mau pegi kemana, kalau nggak gitu, dia nggak bakalan mau, terus aja bakalan nanya "mau kemana?", ujung-ujungnya ya....jalan-jalan di sekitar kosan atau duduk-duduk aja di kosan, nah!!!! hal itu tuh salah satu yang bikin bete, udah tahu aku nggak betah tinggal di kosan, aku juga nggak terlalu suka tempat yang rame (tapi bukan kuburan lho..he..he), pengennya tuh ke tempat-tempat wisata gitu, tapi kembali lagi sama kondisi dia yang selalu padat jadwal sehari-harinya, kadang juga ada kerjaan yang mendadak.
Susah banget nyari waktu untuk pergi ke tempat-tempat wisata, kayaknya emang harus jauh-jauh hari bikin rencananya, tapi yang jadi pertanyaan, apa dia mau ngajak aku prgi ke tempat wisata, misalnya di Ciwidey kan ada kawah putih tuh, atau Lembang ada Gunung Tangkuban Perahu.................ah........kayaknya mustahil banget deh...harus nunggu tahun kapaaaaaan gitu.
Tapi nggak tahu kenapa, meski keadaannya kayak gini aku tetep bisa tahan sama dia, walaubagaimana pun dia slalu ada buat aku, karena udah sayang kali ya.......he..he...!!!
Malah dia sendiri juga bilang kalau dia tuh kasihan sama aku, punya cowok sibuk banget sana-sini, mau gimana lagi? aku udah terlanjur sayang sama dia.

Senin, 16 Maret 2009

Jumat, 13 Maret 2009

SESAL

Suatu sore terlihat seorang gadis setengah baya duduk di bangku yang terletak di bawah sebuah pohon, semilir angin menerpa tubuhnya, hembusannya menusuk kulit meski tubuh itu terbalut kain, pandangannya tertuju ke depan namun tatapannya kosong, ditangannya sebuah buku berwarna putih dipegangnya erat.
Dulu senyuman selalu tersungging di bibirnya menghiasi hari-harinya, kesepian tak sempat menghampiri karena sebuah kehangatan selalu menyelimuti kehidupannya, hampir tak ada setetes air mata pun yang mengalir, tak ada sayatan luka di hatinya, tak terbesit perasaan bersalah.
Namun kini, semuanya telah berubah, kejadian dan perasaan yang selama ini tak pernah dialami bahkan tak pernah terpikirkan atau terbesit menghampiri kehidupannya, wajahnya yang dulu selalu terlihat ceria telah pudar, meski ia selalu berusaha untuk tersenyum, namun senyuman yang terlihat justru sangat menusuk, seolah dia sedang menyembunyikan kesedihan yang sangat, namun raut wajah itu tak bisa berbohong.
Aku melangkah ragu menghampiri gadis itu, sudah hampir sebulan aku memperhatikannya, setiap sore ia selalu duduk manis disini dengan kondisi yang semakin hari sepertinya semakin memprihatinkan, beberapa waktu lalu kami sempat berkenalan, namanya Mira.
“Hai!” sapaku.
Dia menoleh lalu menyunggingkan kedua ujung bibirnya.
“Boleh…duduk?” tanyaku agak sedikit ragu tapi kali ini aku benar-benar ingin menemaninya dan aku ingin mengetahui hal yang tidak aku ketahui tentangnya, agak sedikit kurang sopan mungkin sikapku ini, penasaran akan kehidupan seseorang yang baru saja kukenal, tapi jujur aku sangat penasaran dan ingin mengetahuinya.
Dia mengangguk.
Aku pun duduk di sampingnya.
Pandangannya kembali tertuju ke depan.
Suasana hening.
“Tempat ini lumayan nyaman juga ya” kataku basa-basi membuka percakapan lebih dulu.
Dia mengangguk tanpa menoleh padaku.
“Sepertinya kamu sering kemari” lanjutku menebak.
Dia kembali mengangguk tanpa bersuara.
Sikapnya masih seperti itu, waktu pertama kali kenal pun seperti itu, dulu dia hanya mengatakan sedang menunggu seseorang.
“Orang yang kamu tunggu sudah datang?” tanyaku.
Dia menggeleng lesu, keputusasaan tersirat di wajahnya tapi dia tetap tak mau menyerah, dia terus saja duduk di sini, tetap menunggu.
“Kamu yakin ia akan datang?” aku kembali bertanya.
Mulutnya masih terbungkam, tidak mengangguk dan tidak pula menggeleng apalagi bersuara, mungkin ragu.
“Persahabatan itu indah” akhirnya dia bicara setelah beberapa saat terbungkam.
“Bagaimana menurutmu?” tanyanya sambil menoleh padaku.
“Ehm…ya, persahabatan itu memang indah, diamana kita bisa saling berbagi baik suka maupun duka” jawabku mengutip kata-kata temanku.
“Tapi bukankah dengan seorang kekasih pun bisa saling berbagi baik suka maupun duka?”
“Sepertinya ada perbedaan.”
“Apa?”
“Ehm….” Aku bingung.
Dia tersenyum menatapku, aku jadi malu, mungkin dia tahu kalau aku hanya asal bicara saja.
“Sahabat itu bisa menerima kita apa adanya, sepenuhnya.”
Aku terdiam menyimak kalimat yang terlontar dari bibirnya barusan.
“Tapi kekasih, belum tentu” dia menggeleng.
Aku mengangguk.
Dia menghela napas.
“Orang yang aku tunggu selama ini tidak akan pernah datang, meski aku selalu berharap, tapi rupanya harapanku sia-sia, semuanya hanya tinggal kenangan” ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis, tapi rupanya air mata itu tak bisa terbendung, dia tertunduk lemah.
Sore itu adalah sore terakhir aku bisa bertemu dengannya, dia pergi ke tempat yang sangat jauh, tapi sebelum pergi dia telah memberikan jawaban dari rasa penasaranku selama ini, mengenai kehidupannya.
Dulu Mira menjalin persahabatan dengan Lia, Reza dan Faisal. Hubungan persahabatan itu bisa terjalin karena mereka memiliki kesamaan, mereka sama-sama suka menulis, makannya mereka aktif mengkordinir kemajuan madding di sekolah, mereka juga sama-sama pencinta alam, saat libur sekolah mereka selalu mengadakan kemah, tidak ada yang disembunyikan dari keempat anak manusia ini, kedekatan terjalin karena mereka tidak pernah merahasiakan sesuatu hal pun, semuanya mereka jalani bersama.
Sampai pada suatu ketika cinta membutakan mata hati Mira, salahnya dia menyembunyikan jalinan kasihnya dari sahabat-sahabatnya, dia mulai tak lagi menyempatkan waktu supaya bisa berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, kadang waktu perjumpaan bentrok sehingga membuatnya bingung dalam memilih, di satu sisi dia tak ingin mengecewakan sahabat-sahabatnya tapi di sisi lain ia pun tak ingin kehilangan seseorang yang baru saja menjadi bagian dari hidupnya.
Serapat-rapatnya bangkai disembunyikan pada akhirnya pasti akan tercium juga, begitu pula dengan hubungan Mira, tentu saja ketiga sahabatnya kesal dengan sikapnya, bukankah diantara mereka tidak boleh ada yang disembunyikan dan Mira telah melanggarnya, namun pada akhirnya dia bisa dimaafkan, hanya saja hubungannya dengan ketiga sahabatnya ini mengalami kerenggangan karena dia selalu menghabiskan waktu bersama sang kekasih, dia tak ingin mengecewakan kekasihnya, dia ingin menjadi yang terbaik.
Suatu hari Lia memintanya untuk menjemputnya karena dia ribut dengan Ayahnya, saat itu Mira baru saja akan pergi nonton bersama kekasihnya, dia terpaksa berbohong pada Lia karena dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini bersama kekasihnya itu.
Hari itu Mira kehilangan Lia untuk selama-lamanya, sahabatnya meninggal karena kecelakaan, tentu saja ia sangat terpukul dan merasa bersalah, andai saja waktu itu dia tidak membohongi Lia, mungkin kejadian ini tak akan terulang, parahnya Reza dan Faisal tahu mengenai ini, kali ini tindakan Mira tak bisa dimaafkan, dengan sikapnya yang demikian telah merenggut nyawa orang dan nyawa itu adalah nyawa sahabatnya, Reza dan Faisal marah besar, mereka tak ingin berhubungan lagi dengan Mira, Mira juga memutuskan hubungannya dengan orang yang selama ini sangat dicintainya, karena cinta yang menghampiri hidupnya telah merenggut nyawa sahabatnya, maka dia tidak pernah mau mengenal yang namanya cinta, rasa bersalah terus saja menghantui kehidupannya, dia telah kehilangan semuanya, sahabat-sahabatnya juga cinta pertamanya, penyesalan pun sepertinya tak ada guna.
Aku menutup buku berwarna putih milik Mira, dia memberikan diarynya ini padaku sebelum dia pergi, sekarang aku tahu semuanya, aku tahu apa yang menyebabkan kesedihan selalu tersirat di wajahnya, tempat ini, tempat dimana setiap sore dia selalu duduk manis disini adalah tempat berkumpul dia bersma ketiga sahabatnya.
Saat aku akan beranjak pergi dari tempat ini tiba-tiba saja aku melihat dua orang lelaki sedang berjalan menuju kemari, aku kembali duduk sambil memeluk diary milik Mira, beberapa saat kemudian mereka sudah berada di sampingku.
“Permisi” salah seorang dari mereka menyapaku.
“Anda…..” dia terdiam tak melanjutkan kata-katanya saat memandang tertegun diary yang kupegang.
“Diry itu…mirip sekali dengan diary milik teman kami.” Katanya tersenyum simpul.
“Anda berdua teman Mira?” tanyaku.
“Reza dan…Faisal?” lanjutku.
Mereka berdua mengangguk terlihat kaget, lalu saling pandang.
Tanpa pikir panjang aku memberikan diary itu pada salah seorang diantara mereka.
“Mira selalu berada disini setiap sore, mungkin orang yang selama ini ditunggunya adalah kalian, bukan seseorang tapi dua orang, dia menulis kisahnya di diary itu dan dia memberikannya padaku sebelum dia pergi” jelasku.
“Dimana Mira sekarang?”
“Dia……” aku terdiam, berat sekali rasanya bibir ini untuk mengatakan kalau Mira telah tiada.
“Dia sudah tidak ada di dunia ini” akhirnya aku bisa mengatakannya.
“Apa?!”
“Ya Tuhan!”
Seandainya mereka bisa lebih awal membuka pintu maaf untuk Mira mungkin mereka tak akan kehilangan Mira dengan perasaan seperti ini, mungkin juga Mira tak akan pergi dengan keadaan seperti ini, semua orang memiliki sifat egois, hanya saja tidak seharusnya keegoisan itu ditanam apalagi dengan mengatasnamakan prinsip, karena hal yang demikian hanya akan menyisakan sebuah penyesalan.

Selasa, 18 November 2008

Kisah Lama

Jam menunjukkan pukul sembilan malam, sudah waktunya aku pulang dari tempat aku bekerja yaitu sebuah toko kue, ternyata bekerja di toko kue lumayan menyenangkan, setiap hari bisa melihat kue-kue unik yang sepertinya sangat lezat, tentunya aku belum pernah mencicipi semua kue yang ada disini karena harganya bervariasi, mulai dari harga untuk kalangan menengah sampai ke atas, sedangkan aku hanya bisa mencoba kue-kue yang harganya di bawah rata-rata.
Saat aku keluar dari dalam toko tiba-tiba pandangananku tertuju pada seorang lelaki yang sedang berdiri di samping sebuah BMW berwarna hitam, aku tertegun menatapnya, dia menyunggingkan kedua ujung bibirnya membalas tatapanku, lalu ia berjalan menghampiriku.
“Hampir dua jam lho aku nungguin kamu” katanya.
“Aku antar ya” lanjutnya menggenggam lenganku.
Adrian, seseorang yang belum lama kukenal namun hubungan kami bisa dibilang dekat, kedekatan yang terjalin membuat ia mengungkapkan perasaannya terhadapku, dia menyukaiku.
“Lain kali nggak usah nunggu aku” sahutku sambil melepaskan genggamannya lalu aku melangkah menuju mobilnya, dia terdiam sejenak menatapku.
Selama perjalanan pulang kami saling diam, jujur aku memang sedang memikirkan sesuatu, mengenai perasaanku terhadap Adrian selama ini, entahlah apa aku salah telah menjalin hubungan dengannya, karena ternyata perasaanku terhadapnya biasa-biasa saja, beberapa saat kemudian sampailah di depan rumahku.
“Fi….”
“Aku cape, kamu juga kan? Lebih baik kamu cepat pulang dan istirahat” potongku, aku membuka pintu lalu keluar dari dalam mobilnya bergegas melangkah menuju rumah tanpa menoleh sedikit pun, tanpa mau tahu apa yang ingin dikatakannya, tanpa ingin melihat kepergiannya.
Aku bersandar di balik pintu kamarku, dadaku terasa sesak sekali, aku benar-benar bingung tapi setelah pertemuan beberapa hari lalu cukup membuatku yakin akan perasaanku.
“Tiramisunya satu” pesan seorang lelaki padaku.
Saat mata kami beradu, aku merasa waktu berhenti, jantungku berdetak tak seperti biasanya, tapi jantung ini selalu bedetak seperti ini saat seseorang yang berada di hadapanku adalah orang yang kuanggap sangat istimewa, sudah sekian lama jantung ini tak berdetak seperti ini, dan sekarang kembali terjadi.
“Apa kabar?”
Saat jam makan siang aku luangkan waktu untuk menemaninya .
“Baik, kamu?” tanyaku tanpa melihat wajahnya.
“Aku selalu merasa baik jika ada di dekat kamu.”
“Oh ya? Sayangnya aku nggak.”
“Kamu nggak pintar berbohong Fina.”
Aku mengangkat wajahku yang sedari tertunduk seperti seorang karyawan yang sedang diperingati oleh atasannya karena telah melakukan kesalahan.
“Aku kesini memang sengaja untuk menemuimu” dia membertahu.
“Ada perlu apa?” tanyaku datar.
“Perasaanku tidak pernah berubah Fin.”
Dia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya, sebuah cincin.
“Kamu ingat cincin ini?” katanya.
“Cincin ini milik kamu seperti halnya hati aku” lanjutnya.
Aku hanya terdiam.
“Lupakan aku Al” kataku sambil bergegas pergi meninggalkannya.
“Fin, tunggu!!” dia menarik lenganku.
“Lepas!!”
“Oke, sorry.”
“Kenapa kamu kesini? Kenapa kamu masuk ke kehidupanku lagi? Kenapa kamu….”
“Aku memang selalu ada buat kamu Fin.”
“Tapi kenapa kamu ninggalin aku?!!” bentakku dengan suara bergetar menahan air mata yang sepertinya sudah tak terbendung lagi.
Hampir empat tahun aku menjalin hubungan dengan Aldi, kami saling mencintai dan menyayangi, sekian lama kami menjalin cinta kasih tiba-tiba dia menghancurkan hatiku hingga berkeping-keping, cincin rencana pertunangan kami seolah tak ada artinya.
“Aku akan menikah dengan Hani.”
Kalimat itu yang masih terngiang di telingaku, kalimat itu yang telah menggores hatiku sehingga menyisakan luka yang sangat dalam dan sampai saat ini masih membekas.
“Aku benci kamu Al, aku benci kamu! Aku benci!!!!!” aku berlari pergi meninggalkannya masih menahan tangis.
Keesokan harinya di tempat kerja, tiba-tiba saja Herman, teman baikku dulu datang menemuiku.
“Aldi masih mencintai kamu Fin” katanya.
“Kalau kamu datang kemari untuk mengatakan hal tentang dia, lebih baik kamu pulang!” tegasku sambil berdiri dari tempat dudukku.
“Dia menikahi Hani karena terpaksa.”
Aku terdiam, keningku berkerut.
Aku tahu kalau hubungan Aldi dan Hani memang dekat tapi hanya sebatas teman, tapi keluarga mereka bisa dibilang memang cukup akrab.
“Waktu itu Hani hamil. lelaki yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab, orang tuanya meminta tolong pada Aldi, karena mereka pikir hanya Aldi yang bisa membantu, wanita yang ada dalam hati Aldi hanya kamu Fin.”
Aku terduduk lemas.
“Mereka menikah hanya sampai Hani melahirkan, tapi….” Dia terdiam tak melanjutkan kata-katanya.
“Tapi apa?”
“Hani terjatuh dari tangga lalu keguguran.”
Aku terkejut menutup mulut dengan kedua telapak tanganku.
“Dia merasa sangat bersalah karena telah menghancurkan perasaan kamu juga Aldi, kemudian dia menyuruh Aldi untuk kembali sama kamu karena dia tahu perasaan Aldi hanya untuk kamu.”
“Herman…ak..aku…”
“Aldi sudah pergi meninggalkan kota ini.”
“Ap…apa?”
“Dia menitipkan cincin ini.”
Cincin rencana pertunangan kami dulu, ternyata aku hanya bisa menyimpannya bersama kisahku bersamanya dulu dalam hati.
Siang itu aku sedang duduk santai di depan teras rumah sambil menikmati teh hangat, tiba-tiba terdengar dering telepon.
“Fina, telepon berdering kok nggak diangkat” kata kakakku, lalu mengangkatnya.
“Hallo….”
“Apa?!!!”
Aku menoleh.
“Fin, Aldi kecelakaan……….meninggal.”
“Praaaaak!!!!” gelas di tanganku terjatuh.
Selasa, 3 Januari 2009

Tatapan Kosong

Seperti biasa aku berangkat sekolah menggunakan bus, ya… meski terkadang aku harus berdesak-desakkan, melawan rasa gerah padahal masih pagi, atau terpaksa berdiri karena tidak kebagian tempat duduk, tapi lumayan bisa ngirit ongkos dibanding kalau harus naik angkot atau taksi.
Kali ini aku terpaksa berdiri karena semua kursi sudah terisi penuh, tapi sungguh malang nian nasibku, di depanku berdiri seorang lelaki bertubuh tambun, satu tangannya terangkat berpegangan pada besi yang berada diatas kepalanya seperti menyuarakan “Merdeka!”, tentu saja aku amat terganggu karena keteknya tepat berada di depan hidungku, bau tak sedap tercium dari sana, seperti bau sayur asam yang sudah basi, aku ingin menghindar tapi sepertinya tidak ada tempat yang tepat karena ternyata di belakangku juga berdiri seorang lelaki kribo, rambutnya yang seperti sarang lebah itu tak kalah baunya dari ketek si lelaki tambun, bau terasi tercium dari sana, apalagi saat kuperhatikan pakaiannya yang lusuh, entahlah apa dia pengemis atau bukan, aku tidak terlalu memperdulikannya.
“Uhk….”aku berusaha tetap bertahan meski rasanya mau muntah, si cowok kribo tersenyum padaku, tapi aku ogah membalas senyuman sok manisnya itu, aku langsung memalingkan wajah.
“Hem…kayaknya yang satu nggak pernah mandi dan yang satunya lagi jarang keramas” rutukku sambil menutup hidung.
Kenapa juga perjalanan ke sekolah terasa amat lama padahal hanya beberapa kilometer saja, tiba-tiba pandanganku tertuju pada seorang lelaki yang sedang duduk manis tak jauh dari tempat aku berdiri, penampilannya rapi, dia memakai T-shirt berwarna biru dipanut dengan celana jeans, diatas kepalanya bertengger topi, lumayan cakep juga, dia terus saja menatapku meski tatapannya tanpa ekspresi, mungkin sudah dari tadi dia memperhatikanku, siapa yang tidak nerveous coba diperhatikan cowok cakep.
Aku mengarahkan wajahku ke tempat lain tak bisa lama-lama membalas tatapannya, beberapa detik kemudian aku menoleh ke arah si cowok cakep, rupanya dia masih memandangiku, aku merapikan rambut dan seragamku sambil tersenyum-senyum sendiri, tak sengaja mataku tertuju pada si kribo, dia kembali tersenyum, aku melengos.
“Dia pikir aku senyum sama dia apa, enak aja! Kayaknya harus berpikir 1000x deh kalau harus senyum sama nih cowok.”
Karena penasaran aku kembali melirik cowok cakep itu, ya ampun!! Matanya masih tertuju padaku, jangan-jangan tuh cowok suka lagi sama aku, sekarang aku jadi deg-degan, aku kembali tersenyum sambil mengarahkan kembali pandanganku ke tempat lain.
Kali ini si kribo tahu diri, karena sepertinya dia sadar kalau sedari tadi senyuman ini bukan untuknya, tapi dia masih saja tersenyum padaku.
Tiba-tiba kondektur meneriakkan nama sebuah tempat, cowok cakep itu berdiri dari kursinya, aku berniat untuk menyapanya tapi kuurungkan niat itu saat kulihat dia berjalan ditemani sebuah tongkat yang ia pegang di tangan kanannya, pantesan dari tadi matanya tertuju padaku tapi tatapannya tanpa ekspresi gitu, kalau dipikir-pikir malu juga sepanjang jalan aku sudah kepedean diperhatikan cowok cakep, eh ternyata tuh cowok nggak bisa lihat alias buta.
Si kribo yang masih berdiri disampingku masih melemparkan senyumnya, senyuman kali ini mungkin kalau diartikan “Rasain! Makannya Non jadi orang jangan kepedean.”
Beberapa saat kemudian sekolah sudah di depan mata.
“Stop! Stop! Stop!” teriakku, bergegas aku turun dari bus masih dengan perasaan malu, malu banget.

Minggu, 31 Agustus 2008

Kisahku dalam Diary

“Aku benar-benar bingung” kata Rian sambil memegang kepalanya yang plontos.

“Bingung kenapa?” tanyaku sambil memasukan bakso berukuran kecil ke dalam mulutku.

“Dia….ah!!!” cowok yang sudah lama menjadi sahabatku ini menelungkup ke atas meja membenamkan wajahnya.

Aku menyedot teh botolku “Sebenarnya ada apa sih?” tanyaku kembali, sekarang perutku sudah terisi dan aku siap untuk mendengar keluhan atau lebih kerennya disebut curhatan sahabatku yang satu ini.

Baru beberapa minggu yang lalu dia terlihat sumringah, senyumannya menyebar ke seantero sekolah, orang-orang yang berpapasan dengannya kecipratan senyuman manisnya, sampai-sampai aku pun bisa makan gratis sepuasnya di kantin sekolah plus diajak nonton, jarang-jarang kan dia sebaik itu terhadapku meski aku adalah sahabat dekatnya, tapi sekarang justru malah sebaliknya, wajahnya yang tampan terlihat kusut seperti pakaian yang belum disetrika, senyum manisnya hilang berubah menjadi cemberut, dia terlihat seperti sedang menanggung beban yang begitu berat.

“Kamu tahu kan kalau aku suka banget sama Mela” katanya mulai membuka mulut setelah lama terdiam.

Aku mengangguk, tentu saja aku tahu, dia kan selalu cerita dari pertama kali dia melihat cewek yang disebutnya si cantik jelita lalu karena keseringan melihatnya dia pun mulai menaruh hati padanya, dan cewek itulah yang memiliki nama Mela Puspita Sari, dia pun bercerita bagaimana cara ia mendekati gadis pujaan hatinya itu, setelah lama melalui proses sana-sini, rupanya perasaan yang dirasakannya selama ini terbalaskan.

“Ternyata selama ini aku dibohongi sama dia!” lanjutnya kesal memukul meja sekeras mungkin, beberapa mata mengarah pada kami.

“He..he...nggak ada apa-apa kok” kataku pada orang-orang disekitar kami, mereka pun kembali pada kesibukan masing-masing.

“Hufh! Kok bisa?” tanyaku polos, tentu saja aku bertanya seperti itu, aku masih ingat apa yang diucapkan Rian saat memuja Mela.

Mela itu adalah bidadari yang diturunkan Tuhan dari langit untuk memberikanku kebahagiaan, semua ucapan yang terlontar dari bibir manisnya begitu meyakinkanku, dialah gadisku yang selalu jujur akan perasaannya terhadapku, karena kejujurannya itulah aku semakin mencintainya.”

Huh! Rasanya ingin muntah kalau aku mengingat kata-katanya waktu itu, tapi….maklum lah orang sedang jatuh cinta memang seperti itu, seolah apa yang terlontar dari mulutnya adalah kata-kata puitis, padahal justru malah membuat sakit perut, apalagi Rian, sahabatku ini bisa diangkati jempol kalau dia dihadapkan pada angka-angka yang ada di buku paket Matematika.

“Aaaaaaarrrrgggh!!!!!” teriaknya kembali mengundang tatapan beberapa orang disekitar kami, aku sendiri jadi malu plus bingung harus berbuat apa.

“Kenapa dia tega banget ngelakuin hal itu sama aku” rengeknya dengan wajah yang amat menyedihkan.

Aku hanya bisa terdiam menatapnya sambil menggaruk kepalaku yang tak gatal, aku bingung harus berbuat apa karena aku belum tahu permasalahannya, jadi aku belum berani membuka mulut.

“Fia, bantuin aku dong!!” katanya sambil memegang kedua tanganku.

“Apaan sih!!” aku menepis pegangannya.

“Aku bingung harus ngapain” dia menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi.

“Aku lebih bingung lagi harus melakukan apa, dari tadi kamu cuma ngeluh nggak cerita apa-apa” cerocosku.

Dia memperbaiki posisi tubuhnya menatapku lekat “Aku belum cerita ya?” tanyanya kemudian dengan wajah seperti orang tolol.

Aku hanya menghela napas sambil memalingkan wajahku “Dasar bego!!” rutukku dalam hati.

Tiba-tiba seorang cewek berjalan ala pragawati melewati kami, tentu saja aku sangat mengenal siapa cewek yang barusan lewat, tapi dia tidak seramah dulu, biasanya setiap kali bertemu dia selalu menyapaku, tapi kali ini dia seolah-olah tidak mengenalku, satu hal lagi, dia tidak sendirian tapi ditemani seorang cowok yang aku pun mengenalnya, Radit ketua tim sepak bola di sekolah, mereka duduk tak jauh dari tempatku dan Rian, melihat tingkah mereka bisa dibilang cukup mesra lah.

Aku melirik sahabatku, tampangnya semakin kusut saja, aku mengangguk, sekarang aku mengerti duduk permasalahannya.

“Jadi……”

“Mela ngeduain aku, owh….bukan maksudku….ah!!”

Rian pun mulai bercerita, belum lama jadian, Mela si cewek pujaan hatinya ketahuan wajah aslinya, saat itu malam minggu, seperti biasa Rian mengajak Mela nonton tapi rupanya acara itu batal karena Mela sakit, itulah penuturan kekasih sahabatku ini, karena merasa khawatir Rian pun pergi ke rumah Mela untuk menjenguknya, tapi alangkah terkejutnya dia saat melihat Mela keluar dari rumahnya sambil menggandeng cowok yang tentu saja dikenalnya, betapa remuk hatinya saat itu, tangannya pun terkepal, amarahnya memuncak, dia segera turun dari motornya melangkah menghampiri mereka.

“Mel!” panggilnya menahan kekesalan, dia mencoba bersikap sewajarnya.

Tentu saja Mela kaget melihat Rian yang sekarang sedang berdiri dihadapannya.

“Oh…ha..hai Rian!” sahutnya gugup, dia menatap cowok disampingnya dan Rian bergantian, beberapa detik kemudian “Ada perlu apa ya?” tanyanya sambil tersenyum, senyuman yang dipaksakan.

Kali ini hati Rian benar-benar hancur, dia tidak menyangka Mela akan bersikap seperti itu, seolah-olah Rian itu bukan siapa-siapa baginya.

“Sayang, kita pergi” ajak cowok disampingnya.

Beberapa hari kemudian Rian pun minta penjelasan dari Mela.

“Jadi selama ini kamu ngeduain aku?” tanya Rian berusaha bersikap tenang, sebenarnya kemarahannya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun.

Mela tertunduk “Sebenarnya aku nggak ngeduain kamu tapi……aku ngeduain Radit.”

“Apa?!”

“Aku benar-benar minta maaf, setelah aku pikir-pikir ternyata perasaanku cuma buat Radit” jelasnya menatap Rian dengan tatapan rasa bersalah.

“Terus…yang membuat kamu bingung apa?” tanyaku.

“Meski dia udah nyakitin aku……” dia melirik Mela dan Radit yang sedang tertawa-tawa seolah sedang menertawakan hatinya yang sekarang ini sedang terpuruk “Aku masih sayang sama dia” lanjutnya lalu tertunduk.

Aku sangat mengerti bagaimana perasaan Rian saat ini karena aku pun pernah merasakan bagaimana sakitnya patah hati, mungkin Rian masih bisa dikatakan beruntung dibanding aku karena setidaknya dia pernah merasakan kasih sayang dari orang yang disukainya, dia bisa merasakan kebahagiaan karena perasaannya terbalaskan, dia bisa mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya dengan leluasa sehingga tidak perlu menyimpan beban, sedangkan aku hanya bisa menyimpan perasaan ini dalam hati saja karena hanya aku sendiri yang merasakan perasaan ini, aku hanya bisa menatap wajahnya, mendengar ocehannya, ikut tertawa saat ia bercanda, mendengar curahan hatinya, berada disampingnya saat ia membutuhkanku, hanya itu yang bisa kulakukan, baru aku sadari ternyata aku patah hati sebelum menjalin sebuah hubungan, aku hanya bisa menyimpan perasaan ini.

“Aku berharap dia bisa kembali sama aku” katanya masih tertunduk.

“Kalau dia emang yang terbaik buat kamu, dia pasti akan kembali” hiburku.

Dia menatapku.

Aku menyunggingkan kedua ujung bibirku.

“Makasih ya Fia, kamu selalu ada dalam setiap keadaan yang menimpaku, kamu emang sahabat terbaik aku.”

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Beberapa hari kemudian saat aku sedang duduk di taman sekolah membaca diary ku, tiba-tiba Rian datang menghampiriku, tanpa berkata apa-apa dia langsung duduk disebelahku, wajahnya belum berubah, masih seperti kemarin-kemarin.

“Fia, kamu masih ingat kata-kataku tempo lalu?” tanyanya tanpa memandangku.

“Kata-kata yang mana?” aku balik bertanya.

“Harapan kalau Mela bisa kembali lagi sama aku” dia mengingatkan.

“Oh iya, memangnya kenapa?”

Dia mengubah posisi duduknya, sekarang pandangannya mengarah padaku

“Harapan itu terwujud Fi!” katanya dengan wajah berseri-seri.

Mulutku terbungkam, aku tidak bisa berkomentar apa-apa, yang kulakukan hanya menatapnya sekilas lalu mengalihkan pandanganku.

“Bagus kalau begitu” sahutku kemudian sambil tersenyum membalas tatapan bahagianya lalu aku membuka diary yang sedari tadi berada di tanganku.

Dia mengerutkan dahinya menatapku.

“Ehem…selamat ya!” aku menatapnya kembali sambil menyalaminya.

“Oh…iya.”dia mengangguk.

“Lalu….Radit?” tanyaku hati-hati.

“Sebenarnya Radit marah saat tahu kalau Mela ngeduain dia sama aku, dia pura-pura maafin Mela karena ingin balas dendam” jelasnya .

“Jahat banget sih!” komentarku.

“Makannya aku kasihan lihat keadaan Mela sekarang ini, aku harus ada disamping dia” katanya.

Aku menundukan kepalaku.

“Aku benar kan Fi?” tanyanya.

Aku mengangguk “Iya!” aku mengangguk tanpa memandangnya kembali membolak-balik diary ku.

“Aku pergi dulu ya.”

Aku kembali mengangguk.

Rian pun berdiri dari duduknya, lalu pergi meninggalkanku, aku memegang dadaku yang terasa disayat-sayat, sakit rasanya, aku tertunduk karena aku tidak ingin dia melihat mataku yang sedari tadi berkaca-kaca menahan air mata yang sekarang rupanya tak bisa kubendung lagi, aku membuka diary yang selalu kubawa kemanapun aku pergi, diary pemberian Rian dua tahun lalu dan selalu menjadi tempat curahan hatiku, untaian kata yang kutulis adalah curahan hati yang tak bisa aku ucapkan lewat mulutku, tinggal satu halaman lagi dan inilah akhir dari kisahku.

Minggu, 15 juni 2008

Hilang

Aku menatap lekat sosok yang kini sedang duduk manis memasang wajah serius dengan sebuah buku pada genggamannya, sorot matanya yang kadang membuat pandangan ini tak mampu untuk membalas namun bisa melukis sebuah kenyamanan, sunggingan seulas senyum yang kadang bisa menghilangkan sebongkah kekesalan, hujaman kata-kata yang terlontar dari bibirnya bisa menggoyangkan pikiran dan perasaan, namun tetap saja terbesit setitik keraguan dalam diri ini, padahal dipikir dengan logika seharusnya keraguan itu tak harus ada, karena semua gerakan yang terlihat cukup mewakili kata hati, namun terkadang untuk mendapat sebuah kepastian itu tak cukup hanya dengan melihat, butuh rangkaian kata-kata yang harus terucap untuk didengar, baru kemudian menancap dalam hati menghasilkan sebuah kepercayaan.
Kadang kebingungan masih aku rasakan ketika timbul pertanyaan kenapa yang terukir dalam hatiku adalah namanya, sosok yang secara sepintas terlihat memiliki sikap masa bodoh dengan apa yang terjadi di sekelilingnya, tak berpikir panjang ketika melontarkan kata demi kata, sangat menyebalkan, mungkin kalimat itulah yang lebih tepat untuk mewakili segala tindakannya.
Seiring berjalannya waktu, aku melewati hari demi hari bersama dengannya, aku lebih mendekati hatinya, memandang sosoknya lebih jelas dengan perasaan terbuka…………………………………………..
Dan kini aku mulai sadar betapa hati ini begitu menyimpan kecintaan, kasih sayang, kepercayaan, dan kerinduan yang selalu menjalari benak ini setiap waktunya.
Aku mulai merasakan kesungguhan perasaannya, kerelaan hatinya juga pengorbanannya.
Keraguan itu telah hilang.
“Hey! Kenapa menatapku seperti itu?” tanyanya tiba-tiba setelah menutup buku yang beberapa waktu lalu menemani pikirannya.
Aku membalasnya hanya dengan sunggingan di bibir.
Untaian kata-kata tak mampu mewakili untuk ungkapkan perasaanku.
Minggu, 21 Februari 2009

Hati Yang Terpilih

Tepat pukul satu siang kujejakkan kaki di sebuah pekarangan rumah yang sudah tidak asing lagi bagiku, masih teringat lima belas tahun yang lalu, seorang gadis kecil berkepang dua berlari-lari mengelilingi pekarangan ini, setiap hari dia asyik bermain ditemani Neneknya, gadis kecil itu kini sudah tumbuh dewasa, itulah aku. Selama kurang lebih dua tahun aku tinggal bersama Nenek karena orang tuaku sibuk dengan pekerjaannya, mereka tidak ingin aku di asuh oleh seorang pembantu, makannya mereka menitipkanku pada Nenek.

Kebetulan kuliah libur, aku menyempatkan waktu untuk menemui Nenek, lagipula aku sangat merindukannya, sudah lama aku tidak menemuinya, Nenek sangat gembira atas kedatanganku, tentu saja dia menyambutku dengan penuh kebahagiaan, sesampainya disana aku dibanjiri pertanyaan, apalagi Nenekku ini sangat cerewet, dia sangat suka bercerita, semalaman suntuk kami ngobrol.

Keesokan harinya saat aku sedang menyiram tanaman seseorang datang menghampiriku menenteng sebuah pot bunga di tangannya.

“Selamat pagi, Nenek ada?” tanyanya.

Aku terdiam memperhatikannya.

“Maaf, Neneknya ada?” dia kembali bertanya.

“Oh, ada.”

“Tunggu sebentar, aku panggilkan” aku bergegas masuk ke dalam rumah setelah mempersilahkannya duduk terlebih dahulu di kursi taman.

Setelah kuberitahu, Nenek segera menghampiri orang itu, aku kembali menyiram tanaman, entah apa yang mereka bicarakan.

“Rea!” panggil Nenek tiba-tiba.

“Kesini!”

Ada apa Nek?” tanyaku menghampirinya.

“Kamu lupa? Ini Aris teman kamu waktu masih kecil” Nenek mengingatkan.

Aku tertegun menatap lelaki dihadapanku.

“Oya?”

“Wah Re, tega banget! Masa kamu lupa sama aku” sahut lelaki bernama Aris yang kata Nenek adalah teman kecilku.

Setelah pertemuan itu Aris jadi sering menemuiku dan mengajakku jalan-jalan, Mamanya pemilik toko bunga di seberang rumah, Nenekku sangat menyukai tanaman, makannya sering memesan tanaman ke toko Aris.

“Kamu masih ingat kan kita suka main di taman ini?” Tanya Aris.

“Oya? Aku lupa tuh, udah lama banget sih!” kataku sambil melontarkan senyum.

“Malah…aku nggak ingat kalau kamu itu teman aku dulu”

Aris menganguk sambil menggaruk-garuk kepalanya yang aku tahu pasti tidak gatal.

Ada ice cream, mau?” tawarnya.

“Boleh” sahutku.

Dia beranjak membeli ice cream.

“Nih! Kamu yang vanilla”

“Lho, kok kamu tahu aku suka rasa vanilla?” tanyaku.

“Ya tahu lah, bukan hanya ice cream saja, bahkan aku tahu warna kesukaan kamu, hijau kan? Kamu paling takut sama kucing, tidak suka memakai sepatu yang bertali, lebih suka rambut dikepang daripada digerai, ya kan?” cerocosnya.

“Ya ampun, hal sepele seperti itu dia tahu, hem…cowokku mana peduli dengan hal seperti itu” kataku dalam hati.

“Woy!! Kok bengong sih, kenapa?” tanyanya.

“Ah…nggak kok” sahutku.

Aris mengajakku ke toko milik Mamanya, tentu saja aku mau.

Kami berdua berdiri di pinggir jalan menunggu kendaraan yang berlalu lalang dihadapan kami sedikit berkurang, tiba-tiba sebuah tangan hangat menggenggamku.

“Yuk!!” dia menarik lenganku lembut berjalan menyeberangi jalan.

Aku hanya terdiam menatapnya sambil mengikutinya, kedua ujung bibirku sedikit tersungging.

“Waah! Tanaman disini bagus-bagus ya, pantas Nenek sering membeli tanaman disini” komentarku setelah berkeliling di toko ini.

“Iya, Nenek itu pelanggan setia kami lho” sahutnya.

“Oya?”

Dia mengangguk.

“Duuuk!!” tiba-tiba kakiku tersandung sebuah pot lalu terjatuh.

“Aduh!” ringisku.

“Re, kamu nggak apa-apa?” Tanya Aris panik.

“Nggak apa-apa gimana! Sakit tahu!” sahutku sambil memegang lutut yang terasa senut-senut.

“Sakit ya? Coba aku lihat”

Aku menatap wajah yang kini sedang serius melihat luka di kakiku, alisnya hitam tebal, hidungnya mancung, kulitnya hitam manis….

“Ya ampun Re, berdarah” katanya.

“Kita ke dalam aja ya, obati luka kamu”

“Yuk!!” dia membantuku berdiri

Aku baru tersadar.

“Mau kemana?”

“Kaki kamu berdarah, aku obati di rumah”

“Hah?!! Kok berdarah?!” aku terkejut.

Dia menatapku heran.

“Oh, ya udah, bantu aku berdiri dong!” kataku agak salting.

Aduuuh, kenapa jadi begini, dia tahu nggak ya tadi aku merhatiin dia? Malu banget!!”

Tak terasa selama beberapa hari kebelakang aku banyak menghabiskan waktu liburanku bersama Aris ketimbang Nenek, agak keterlaluan juga kalau dipikir-pikir, tapi tidak apalah, toh Nenek juga tidak keberatan.

“Besok kamu pulang ya?” Tanya Aris

Aku mengangguk.

“Aku senang selama beberapa hari ini bisa menghabiskan waktu sama kamu.”

“Aku juga, makasih ya udah mau nemenin aku, kamu emang benar-benar teman yang baik” pujiku sambil melontarkan senyuman termanisku.

Tapi dia menatapku tajam tanpa senyuman sedikit pun, senyum di bibirku sedikit demi sedikit memudar, lalu aku melemparkan pandanganku ke arah lain sambil merapihkan rambutku yang memang sebenarnya sudah rapih, hal ini supaya aku tidak terlihat salting dihadapannya, jujur aku merasa salah tingkah di tatap seperti itu.

“Re” dia menarik lenganku.

Tentu saja aku terkejut.

“Bisa nggak sih kamu memandang aku bukan sebagai teman?”

Aku terdiam menatapnya bingung.

Aris tahu banyak tentang aku bahkan hal sepele yang mungkin cowokku tidak akan pernah perduli, dia pasti akan bilang masih banyak hal yang lebih penting yang perlu dia ketahui dibanding hal-hal kecil tentang aku, raut wajah Aris yang begitu panik saat melihat luka kecil di lututku yang bahkan sampai saat ini aku belum pernah melihat cowokku sepanik itu melihatku terluka, dia pasti akan bilang “yah, cuma luka seperti itu, diobatin sedikit aja juga ntar sembuh, jangan manja deh!”, perhatian Aris, kebaikannya, semua yang ada pada dirinya sungguh membuatku tertarik, perempuan mana sih yang tidak mau diperlakukan seperti itu apalagi oleh seseorang yang disukainya.

Aduuuuh, gimana nih??!”

“Ongkosnya Mbak” kata seorang kondektur.

“Oh, iya!”

Sepanjang perjalanan pulang pikiranku dipenuhi sosok Aris tapi Faisal juga tak terlupakan, tak terasa perjalanan pun seperti sebentar saja.

Saat aku turun dari Bus, yang pertama kali menyapu pandanganku adalah Faisal, dia berdiri tegak memandangiku sambil menyunggingkan kedua ujung bibirnya.

Faisal adalah sosok yang berarti dalam hidupku, aku lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya dibanding Aris meski dia adalah teman masa kecilku, aku tahu banyak tentang Faisal meski dia tidak pernah memberitahuku, aku tidak pernah tahu seberapa besar perasaannya terhadapku yang jelas aku begitu menyukainya, sikapnya yang seolah tak perduli namun selalu ada disampingku saat kubutuhkan, dia selalu menemaniku.

Aku melangkah menghampirinya.

“Gimana liburannya? Seru?” tanyanya.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

“Kenapa?” tanyanya menatapku heran.

“Nggak kenapa-kenapa, yuk!!” aku menggandeng lengannya.

Saat melihatnya aku baru sadar ternyata betapa aku merindukannya, bagiku Aris adalah seorang teman yang setiap orang pasti menginginkan teman seperti itu.

Selasa, 20 Januari 2009