Jumat, 13 Maret 2009

Kisahku dalam Diary

“Aku benar-benar bingung” kata Rian sambil memegang kepalanya yang plontos.

“Bingung kenapa?” tanyaku sambil memasukan bakso berukuran kecil ke dalam mulutku.

“Dia….ah!!!” cowok yang sudah lama menjadi sahabatku ini menelungkup ke atas meja membenamkan wajahnya.

Aku menyedot teh botolku “Sebenarnya ada apa sih?” tanyaku kembali, sekarang perutku sudah terisi dan aku siap untuk mendengar keluhan atau lebih kerennya disebut curhatan sahabatku yang satu ini.

Baru beberapa minggu yang lalu dia terlihat sumringah, senyumannya menyebar ke seantero sekolah, orang-orang yang berpapasan dengannya kecipratan senyuman manisnya, sampai-sampai aku pun bisa makan gratis sepuasnya di kantin sekolah plus diajak nonton, jarang-jarang kan dia sebaik itu terhadapku meski aku adalah sahabat dekatnya, tapi sekarang justru malah sebaliknya, wajahnya yang tampan terlihat kusut seperti pakaian yang belum disetrika, senyum manisnya hilang berubah menjadi cemberut, dia terlihat seperti sedang menanggung beban yang begitu berat.

“Kamu tahu kan kalau aku suka banget sama Mela” katanya mulai membuka mulut setelah lama terdiam.

Aku mengangguk, tentu saja aku tahu, dia kan selalu cerita dari pertama kali dia melihat cewek yang disebutnya si cantik jelita lalu karena keseringan melihatnya dia pun mulai menaruh hati padanya, dan cewek itulah yang memiliki nama Mela Puspita Sari, dia pun bercerita bagaimana cara ia mendekati gadis pujaan hatinya itu, setelah lama melalui proses sana-sini, rupanya perasaan yang dirasakannya selama ini terbalaskan.

“Ternyata selama ini aku dibohongi sama dia!” lanjutnya kesal memukul meja sekeras mungkin, beberapa mata mengarah pada kami.

“He..he...nggak ada apa-apa kok” kataku pada orang-orang disekitar kami, mereka pun kembali pada kesibukan masing-masing.

“Hufh! Kok bisa?” tanyaku polos, tentu saja aku bertanya seperti itu, aku masih ingat apa yang diucapkan Rian saat memuja Mela.

Mela itu adalah bidadari yang diturunkan Tuhan dari langit untuk memberikanku kebahagiaan, semua ucapan yang terlontar dari bibir manisnya begitu meyakinkanku, dialah gadisku yang selalu jujur akan perasaannya terhadapku, karena kejujurannya itulah aku semakin mencintainya.”

Huh! Rasanya ingin muntah kalau aku mengingat kata-katanya waktu itu, tapi….maklum lah orang sedang jatuh cinta memang seperti itu, seolah apa yang terlontar dari mulutnya adalah kata-kata puitis, padahal justru malah membuat sakit perut, apalagi Rian, sahabatku ini bisa diangkati jempol kalau dia dihadapkan pada angka-angka yang ada di buku paket Matematika.

“Aaaaaaarrrrgggh!!!!!” teriaknya kembali mengundang tatapan beberapa orang disekitar kami, aku sendiri jadi malu plus bingung harus berbuat apa.

“Kenapa dia tega banget ngelakuin hal itu sama aku” rengeknya dengan wajah yang amat menyedihkan.

Aku hanya bisa terdiam menatapnya sambil menggaruk kepalaku yang tak gatal, aku bingung harus berbuat apa karena aku belum tahu permasalahannya, jadi aku belum berani membuka mulut.

“Fia, bantuin aku dong!!” katanya sambil memegang kedua tanganku.

“Apaan sih!!” aku menepis pegangannya.

“Aku bingung harus ngapain” dia menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi.

“Aku lebih bingung lagi harus melakukan apa, dari tadi kamu cuma ngeluh nggak cerita apa-apa” cerocosku.

Dia memperbaiki posisi tubuhnya menatapku lekat “Aku belum cerita ya?” tanyanya kemudian dengan wajah seperti orang tolol.

Aku hanya menghela napas sambil memalingkan wajahku “Dasar bego!!” rutukku dalam hati.

Tiba-tiba seorang cewek berjalan ala pragawati melewati kami, tentu saja aku sangat mengenal siapa cewek yang barusan lewat, tapi dia tidak seramah dulu, biasanya setiap kali bertemu dia selalu menyapaku, tapi kali ini dia seolah-olah tidak mengenalku, satu hal lagi, dia tidak sendirian tapi ditemani seorang cowok yang aku pun mengenalnya, Radit ketua tim sepak bola di sekolah, mereka duduk tak jauh dari tempatku dan Rian, melihat tingkah mereka bisa dibilang cukup mesra lah.

Aku melirik sahabatku, tampangnya semakin kusut saja, aku mengangguk, sekarang aku mengerti duduk permasalahannya.

“Jadi……”

“Mela ngeduain aku, owh….bukan maksudku….ah!!”

Rian pun mulai bercerita, belum lama jadian, Mela si cewek pujaan hatinya ketahuan wajah aslinya, saat itu malam minggu, seperti biasa Rian mengajak Mela nonton tapi rupanya acara itu batal karena Mela sakit, itulah penuturan kekasih sahabatku ini, karena merasa khawatir Rian pun pergi ke rumah Mela untuk menjenguknya, tapi alangkah terkejutnya dia saat melihat Mela keluar dari rumahnya sambil menggandeng cowok yang tentu saja dikenalnya, betapa remuk hatinya saat itu, tangannya pun terkepal, amarahnya memuncak, dia segera turun dari motornya melangkah menghampiri mereka.

“Mel!” panggilnya menahan kekesalan, dia mencoba bersikap sewajarnya.

Tentu saja Mela kaget melihat Rian yang sekarang sedang berdiri dihadapannya.

“Oh…ha..hai Rian!” sahutnya gugup, dia menatap cowok disampingnya dan Rian bergantian, beberapa detik kemudian “Ada perlu apa ya?” tanyanya sambil tersenyum, senyuman yang dipaksakan.

Kali ini hati Rian benar-benar hancur, dia tidak menyangka Mela akan bersikap seperti itu, seolah-olah Rian itu bukan siapa-siapa baginya.

“Sayang, kita pergi” ajak cowok disampingnya.

Beberapa hari kemudian Rian pun minta penjelasan dari Mela.

“Jadi selama ini kamu ngeduain aku?” tanya Rian berusaha bersikap tenang, sebenarnya kemarahannya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun.

Mela tertunduk “Sebenarnya aku nggak ngeduain kamu tapi……aku ngeduain Radit.”

“Apa?!”

“Aku benar-benar minta maaf, setelah aku pikir-pikir ternyata perasaanku cuma buat Radit” jelasnya menatap Rian dengan tatapan rasa bersalah.

“Terus…yang membuat kamu bingung apa?” tanyaku.

“Meski dia udah nyakitin aku……” dia melirik Mela dan Radit yang sedang tertawa-tawa seolah sedang menertawakan hatinya yang sekarang ini sedang terpuruk “Aku masih sayang sama dia” lanjutnya lalu tertunduk.

Aku sangat mengerti bagaimana perasaan Rian saat ini karena aku pun pernah merasakan bagaimana sakitnya patah hati, mungkin Rian masih bisa dikatakan beruntung dibanding aku karena setidaknya dia pernah merasakan kasih sayang dari orang yang disukainya, dia bisa merasakan kebahagiaan karena perasaannya terbalaskan, dia bisa mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya dengan leluasa sehingga tidak perlu menyimpan beban, sedangkan aku hanya bisa menyimpan perasaan ini dalam hati saja karena hanya aku sendiri yang merasakan perasaan ini, aku hanya bisa menatap wajahnya, mendengar ocehannya, ikut tertawa saat ia bercanda, mendengar curahan hatinya, berada disampingnya saat ia membutuhkanku, hanya itu yang bisa kulakukan, baru aku sadari ternyata aku patah hati sebelum menjalin sebuah hubungan, aku hanya bisa menyimpan perasaan ini.

“Aku berharap dia bisa kembali sama aku” katanya masih tertunduk.

“Kalau dia emang yang terbaik buat kamu, dia pasti akan kembali” hiburku.

Dia menatapku.

Aku menyunggingkan kedua ujung bibirku.

“Makasih ya Fia, kamu selalu ada dalam setiap keadaan yang menimpaku, kamu emang sahabat terbaik aku.”

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Beberapa hari kemudian saat aku sedang duduk di taman sekolah membaca diary ku, tiba-tiba Rian datang menghampiriku, tanpa berkata apa-apa dia langsung duduk disebelahku, wajahnya belum berubah, masih seperti kemarin-kemarin.

“Fia, kamu masih ingat kata-kataku tempo lalu?” tanyanya tanpa memandangku.

“Kata-kata yang mana?” aku balik bertanya.

“Harapan kalau Mela bisa kembali lagi sama aku” dia mengingatkan.

“Oh iya, memangnya kenapa?”

Dia mengubah posisi duduknya, sekarang pandangannya mengarah padaku

“Harapan itu terwujud Fi!” katanya dengan wajah berseri-seri.

Mulutku terbungkam, aku tidak bisa berkomentar apa-apa, yang kulakukan hanya menatapnya sekilas lalu mengalihkan pandanganku.

“Bagus kalau begitu” sahutku kemudian sambil tersenyum membalas tatapan bahagianya lalu aku membuka diary yang sedari tadi berada di tanganku.

Dia mengerutkan dahinya menatapku.

“Ehem…selamat ya!” aku menatapnya kembali sambil menyalaminya.

“Oh…iya.”dia mengangguk.

“Lalu….Radit?” tanyaku hati-hati.

“Sebenarnya Radit marah saat tahu kalau Mela ngeduain dia sama aku, dia pura-pura maafin Mela karena ingin balas dendam” jelasnya .

“Jahat banget sih!” komentarku.

“Makannya aku kasihan lihat keadaan Mela sekarang ini, aku harus ada disamping dia” katanya.

Aku menundukan kepalaku.

“Aku benar kan Fi?” tanyanya.

Aku mengangguk “Iya!” aku mengangguk tanpa memandangnya kembali membolak-balik diary ku.

“Aku pergi dulu ya.”

Aku kembali mengangguk.

Rian pun berdiri dari duduknya, lalu pergi meninggalkanku, aku memegang dadaku yang terasa disayat-sayat, sakit rasanya, aku tertunduk karena aku tidak ingin dia melihat mataku yang sedari tadi berkaca-kaca menahan air mata yang sekarang rupanya tak bisa kubendung lagi, aku membuka diary yang selalu kubawa kemanapun aku pergi, diary pemberian Rian dua tahun lalu dan selalu menjadi tempat curahan hatiku, untaian kata yang kutulis adalah curahan hati yang tak bisa aku ucapkan lewat mulutku, tinggal satu halaman lagi dan inilah akhir dari kisahku.

Minggu, 15 juni 2008

Tidak ada komentar: