Jumat, 13 Maret 2009

Hati Yang Terpilih

Tepat pukul satu siang kujejakkan kaki di sebuah pekarangan rumah yang sudah tidak asing lagi bagiku, masih teringat lima belas tahun yang lalu, seorang gadis kecil berkepang dua berlari-lari mengelilingi pekarangan ini, setiap hari dia asyik bermain ditemani Neneknya, gadis kecil itu kini sudah tumbuh dewasa, itulah aku. Selama kurang lebih dua tahun aku tinggal bersama Nenek karena orang tuaku sibuk dengan pekerjaannya, mereka tidak ingin aku di asuh oleh seorang pembantu, makannya mereka menitipkanku pada Nenek.

Kebetulan kuliah libur, aku menyempatkan waktu untuk menemui Nenek, lagipula aku sangat merindukannya, sudah lama aku tidak menemuinya, Nenek sangat gembira atas kedatanganku, tentu saja dia menyambutku dengan penuh kebahagiaan, sesampainya disana aku dibanjiri pertanyaan, apalagi Nenekku ini sangat cerewet, dia sangat suka bercerita, semalaman suntuk kami ngobrol.

Keesokan harinya saat aku sedang menyiram tanaman seseorang datang menghampiriku menenteng sebuah pot bunga di tangannya.

“Selamat pagi, Nenek ada?” tanyanya.

Aku terdiam memperhatikannya.

“Maaf, Neneknya ada?” dia kembali bertanya.

“Oh, ada.”

“Tunggu sebentar, aku panggilkan” aku bergegas masuk ke dalam rumah setelah mempersilahkannya duduk terlebih dahulu di kursi taman.

Setelah kuberitahu, Nenek segera menghampiri orang itu, aku kembali menyiram tanaman, entah apa yang mereka bicarakan.

“Rea!” panggil Nenek tiba-tiba.

“Kesini!”

Ada apa Nek?” tanyaku menghampirinya.

“Kamu lupa? Ini Aris teman kamu waktu masih kecil” Nenek mengingatkan.

Aku tertegun menatap lelaki dihadapanku.

“Oya?”

“Wah Re, tega banget! Masa kamu lupa sama aku” sahut lelaki bernama Aris yang kata Nenek adalah teman kecilku.

Setelah pertemuan itu Aris jadi sering menemuiku dan mengajakku jalan-jalan, Mamanya pemilik toko bunga di seberang rumah, Nenekku sangat menyukai tanaman, makannya sering memesan tanaman ke toko Aris.

“Kamu masih ingat kan kita suka main di taman ini?” Tanya Aris.

“Oya? Aku lupa tuh, udah lama banget sih!” kataku sambil melontarkan senyum.

“Malah…aku nggak ingat kalau kamu itu teman aku dulu”

Aris menganguk sambil menggaruk-garuk kepalanya yang aku tahu pasti tidak gatal.

Ada ice cream, mau?” tawarnya.

“Boleh” sahutku.

Dia beranjak membeli ice cream.

“Nih! Kamu yang vanilla”

“Lho, kok kamu tahu aku suka rasa vanilla?” tanyaku.

“Ya tahu lah, bukan hanya ice cream saja, bahkan aku tahu warna kesukaan kamu, hijau kan? Kamu paling takut sama kucing, tidak suka memakai sepatu yang bertali, lebih suka rambut dikepang daripada digerai, ya kan?” cerocosnya.

“Ya ampun, hal sepele seperti itu dia tahu, hem…cowokku mana peduli dengan hal seperti itu” kataku dalam hati.

“Woy!! Kok bengong sih, kenapa?” tanyanya.

“Ah…nggak kok” sahutku.

Aris mengajakku ke toko milik Mamanya, tentu saja aku mau.

Kami berdua berdiri di pinggir jalan menunggu kendaraan yang berlalu lalang dihadapan kami sedikit berkurang, tiba-tiba sebuah tangan hangat menggenggamku.

“Yuk!!” dia menarik lenganku lembut berjalan menyeberangi jalan.

Aku hanya terdiam menatapnya sambil mengikutinya, kedua ujung bibirku sedikit tersungging.

“Waah! Tanaman disini bagus-bagus ya, pantas Nenek sering membeli tanaman disini” komentarku setelah berkeliling di toko ini.

“Iya, Nenek itu pelanggan setia kami lho” sahutnya.

“Oya?”

Dia mengangguk.

“Duuuk!!” tiba-tiba kakiku tersandung sebuah pot lalu terjatuh.

“Aduh!” ringisku.

“Re, kamu nggak apa-apa?” Tanya Aris panik.

“Nggak apa-apa gimana! Sakit tahu!” sahutku sambil memegang lutut yang terasa senut-senut.

“Sakit ya? Coba aku lihat”

Aku menatap wajah yang kini sedang serius melihat luka di kakiku, alisnya hitam tebal, hidungnya mancung, kulitnya hitam manis….

“Ya ampun Re, berdarah” katanya.

“Kita ke dalam aja ya, obati luka kamu”

“Yuk!!” dia membantuku berdiri

Aku baru tersadar.

“Mau kemana?”

“Kaki kamu berdarah, aku obati di rumah”

“Hah?!! Kok berdarah?!” aku terkejut.

Dia menatapku heran.

“Oh, ya udah, bantu aku berdiri dong!” kataku agak salting.

Aduuuh, kenapa jadi begini, dia tahu nggak ya tadi aku merhatiin dia? Malu banget!!”

Tak terasa selama beberapa hari kebelakang aku banyak menghabiskan waktu liburanku bersama Aris ketimbang Nenek, agak keterlaluan juga kalau dipikir-pikir, tapi tidak apalah, toh Nenek juga tidak keberatan.

“Besok kamu pulang ya?” Tanya Aris

Aku mengangguk.

“Aku senang selama beberapa hari ini bisa menghabiskan waktu sama kamu.”

“Aku juga, makasih ya udah mau nemenin aku, kamu emang benar-benar teman yang baik” pujiku sambil melontarkan senyuman termanisku.

Tapi dia menatapku tajam tanpa senyuman sedikit pun, senyum di bibirku sedikit demi sedikit memudar, lalu aku melemparkan pandanganku ke arah lain sambil merapihkan rambutku yang memang sebenarnya sudah rapih, hal ini supaya aku tidak terlihat salting dihadapannya, jujur aku merasa salah tingkah di tatap seperti itu.

“Re” dia menarik lenganku.

Tentu saja aku terkejut.

“Bisa nggak sih kamu memandang aku bukan sebagai teman?”

Aku terdiam menatapnya bingung.

Aris tahu banyak tentang aku bahkan hal sepele yang mungkin cowokku tidak akan pernah perduli, dia pasti akan bilang masih banyak hal yang lebih penting yang perlu dia ketahui dibanding hal-hal kecil tentang aku, raut wajah Aris yang begitu panik saat melihat luka kecil di lututku yang bahkan sampai saat ini aku belum pernah melihat cowokku sepanik itu melihatku terluka, dia pasti akan bilang “yah, cuma luka seperti itu, diobatin sedikit aja juga ntar sembuh, jangan manja deh!”, perhatian Aris, kebaikannya, semua yang ada pada dirinya sungguh membuatku tertarik, perempuan mana sih yang tidak mau diperlakukan seperti itu apalagi oleh seseorang yang disukainya.

Aduuuuh, gimana nih??!”

“Ongkosnya Mbak” kata seorang kondektur.

“Oh, iya!”

Sepanjang perjalanan pulang pikiranku dipenuhi sosok Aris tapi Faisal juga tak terlupakan, tak terasa perjalanan pun seperti sebentar saja.

Saat aku turun dari Bus, yang pertama kali menyapu pandanganku adalah Faisal, dia berdiri tegak memandangiku sambil menyunggingkan kedua ujung bibirnya.

Faisal adalah sosok yang berarti dalam hidupku, aku lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya dibanding Aris meski dia adalah teman masa kecilku, aku tahu banyak tentang Faisal meski dia tidak pernah memberitahuku, aku tidak pernah tahu seberapa besar perasaannya terhadapku yang jelas aku begitu menyukainya, sikapnya yang seolah tak perduli namun selalu ada disampingku saat kubutuhkan, dia selalu menemaniku.

Aku melangkah menghampirinya.

“Gimana liburannya? Seru?” tanyanya.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

“Kenapa?” tanyanya menatapku heran.

“Nggak kenapa-kenapa, yuk!!” aku menggandeng lengannya.

Saat melihatnya aku baru sadar ternyata betapa aku merindukannya, bagiku Aris adalah seorang teman yang setiap orang pasti menginginkan teman seperti itu.

Selasa, 20 Januari 2009

Tidak ada komentar: