Jumat, 13 Maret 2009

FATAMORGANA

Aku benar-benar terkejut, tidak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan sosok yang sempat membuat hati ini bergetar beberapa waktu lalu, dan sekarang dia berada dihadapanku, ada perasaan bahagia namun entah mengapa aku tak berani mengangkat wajahku, pertama kali melihatnya tekadku yang sebesar batu karang tiba-tiba saja hancur, kebencian yang menjalari tubuhku sedikit demi sedikit mulai terlepas, perasaan yang telah tersayat seolah telah terobati, padahal aku tidak mengenal siapa sosok yang sedang berada dihadapanku, tapi dia seolah angin yang didatangkan Tuhan untuk meneyejukkan jiwa yang kering kerontang ini.
“Sekarang kumpul di tempat biasa,” ucapnya tersenyum lembut pada Dinda sahabatku,
“Iya kak,” sahut Dinda membalas senyumannya.
Aku masih sibuk melempar pandanganku kearah lain sambil sesekali mencoba untuk meliriknya, akhirnya dia pun pergi dan aku hanya bisa menatapnya dari belakang.
“Arini, kamu mau ikut?” tanya Dinda.
“Kemana?”
“Biasa lah, ke sanggar.”
Dinda memang senang melukis.
Aku menyunggingkan kedua ujung bibirku sambil menggeleng.
“Oh, ya udah nggak apa- apa, kalau begitu aku pergi dulu.”
Aku mengangguk.
Dia pun pergi.
Sosok itu kembali menghampiri pikiranku, munafik kalau aku bilang tidak ingin mengetahui siapa dia, tapi jujur selama ini aku memang tidak pernah mencoba untuk mencari tahu tentangnya, meski demikian bukan berarti aku tidak pernah mengingatnya, dia selalu berada dalam benakku dan setiap kali aku mengingatnya, aku hanya bisa mengingat, tak ada yang bisa kulakukan selain itu.
Sepulang dari kampus tidak sengaja aku bertemu dengannya, pandangan kami sempat bertemu, tapi aku segera berpaling, bergegas aku pergi, aku pernah merasakan perasaan seperti ini dulu, perasaan ini aku rasakan saat aku bertemu dengan Raka, sosok yang berhasil meluluhkan hatiku, memberikan kebahagiaan, membuat seolah aku adalah orang yang paling beruntung di dunia karena telah mendapat kasih sayangnya, tapi rupanya kebahagiaan itu semu, semuanya palsu, dalam sekejap dia telah menghancurkan hati yang selama ini menjadi tempat aku memupuk dan memelihara kasih sayang untuknya, sejak saat itu aku bertekad untuk menutup pintu hati ini meski sebenarnya hati ini haus akan kasih sayang. Namun, aku tetap berusaha menutupnya serapat mungkin, aku tidak ingin merasakan kesakitan lagi, sudah cukup sekali saja perasaan ini tergores dan menyisakan luka yang teramat dalam.
Ternyata aku tidak sekuat dan setegar keinginanku, kali ini aku harus menerima kenyataan kalau dia telah berhasil membuatku menyukainya, padahal selama ini aku terus berusaha untuk tidak menyukai siapapun, ya Tuhan….seandainya aku bisa memilih, lebih baik tidak pernah merasakan jatuh cinta daripada aku merasakan perasaan itu tapi harus tersimpan dalam hati saja, itu teramat menyakitkan, aku benar-benar lelah dengan kesedihan yang menimpaku selama ini, cinta itu indah tapi kenapa cinta yang menghampiriku tidak seindah cinta yang menghampiri orang-orang, justru cinta yang datang padaku seolah menjadi sumber kesedihan dalam hidupku.
Saat aku sedang duduk di kantin tiba-tiba seseorang datang menghampiriku
“Kamu temannya Dinda kan?” tanyanya berdiri tegak dihadapanku.
“Ehm…..iya” jawabku singkat, entahlah perasaan ini terasa tak menentu.
“Dindanya mana ya?”
“Oh….hari ini dia nggak masuk, sakit.”
“Begitu ya?”
Aku mengangguk
“Oh iya, nama saya Adit” dia mengulurkan tangannya.
Aku tertegun menatap uluran tangannya.
“Arini” setelah beberapa saat aku pun menyambut uluran tangan itu.
“Kamu nggak ikutan di sanggar?”
“Aku nggak bisa melukis.”
Obrolan pun mengalir, sejak saat itu kedekatan pun mulai terjalin diantara kami, ada perasaan bahagia karena sekarang aku bisa dekat dengan orang yang kusukai, setidaknya aku bisa selalu melihat senyumannya, mendengar cerita-cerita tentangnya, candaannya, kini aku bisa mengenalnya.
Kebaikan yang selama ini Adit berikan selain membuatku bahagia tapi juga membuat hati ini sakit, dia baik pada semua orang tapi ketika kebaikannya tertuju padaku kadang aku mengartikannya lain, sehingga secara tidak langsung aku menyakiti perasaanku sendiri, banyak sekali pertanyaan dan harapan dalam benakku, entah sampai kapan aku akan begini, aku merasa nyaman berada disampingnya, namun itu sangat menyakitkan, dia seperti fatamorgana, hal terindah yang berada di depan mata tapi tak bisa kugapai, aku sudah cukup merasa lelah dengan keadaan ini dan sepertinya aku harus mengakhiri harapan-harapan yang selama ini bertumpuk dalam otakku, sakit memang tapi mungkin kesakitanku tak seberapa dibanding kesakitan yang dirasakan Zulaikha pada Yusuf, entahlah apa perasaan yang kurasakan pada Adit pun sebesar perasaan Juliet pada Romeo.
“Arini! tunggu!” teriak Adit sambil berlari menghampiriku, saat itu aku baru keluar kelas.
Aku pun menghentikan langkahku,
“Kamu ada waktu? ada yang ingin kubicarakan.”
Aku menatap mata elangnya “Maaf, aku nggak bisa, lain kali saja” kataku sambil berlalu.
Akhir-akhir ini aku memang sengaja menghindari Adit, sebenarnya aku tidak mau melakukan hal ini, tapi mungkin inilah satu-satunya cara supaya aku bisa menghilangkan perasaanku terhadapnya, mungkin saja karena Adit tidak memiliki perasaan yang sama sepertiku.
“Arini…”
“Maaf Dit, aku harus pergi” tegasku saat kami bertemu di perpustakaan, tapi dia menghalangi jalanku.
“Kamu kenapa Arini? sepertinya kamu tidak mau bertemu denganku.”
Aku hanya bisa diam sambil tertunduk “Bukan begitu Dit,” ujarku dalam hati.
“Aku buat salah ya sama kamu?”
Mulutku masih terbungkam, lalu aku mengarahkan pandanganku ke tempat lain.
“Oke, kalau aku punya salah aku minta maaf, tapi kamu jangan bersikap seperti ini Arini!”
Aku mengalihkan pandanganku ke wajahnya tapi aku masih tetap terdiam, lidah ini terasa kelu.
“Ada apa sebenarnya?”
Itulah pertanyaan yang selama ini kutakutkan keluar dari mulutnya, karena pertanyaan itu tak mungkin bisa kujawab, aku tidak mungkin berkata bohong tapi jujur pun aku tak mampu
“Apa yang menjadi penyebab kamu menghindar dariku?”
“Aku tidak mampu berada didekat kamu Adit, karena setiap aku berada disampingmu perasaan ini semakin mendalam saja dan itu sangat membuatku tersiksa, tapi dengan menjauh pun itu malah tambah menyakitkan” kata-kata itu tak keluar dari mulutku. Berat rasanya bila harus diungkapkan.
“Arini…..”
“Aku hanya ingin sendiri.” ucapku.
“Kamu lagi ada masalah?” tanyanya terlihat khawatir.
“Jangan seperti itu terhadapku Adit.” sahutku.
“Maksud kamu?” dia mengerutkan dahinya.
“Aku…aku akan berusaha jadi seorang teman yang baik buat kamu.” kataku sambil mangalihkan pandanganku kearah lain karena rupanya mataku mulai berkaca-kaca, begitu berat rasanya aku mengucapkan kalimat itu, sakit rasanya.
Dia hanya menatapku heran.
“Permisi” aku pun pergi meninggalkannya, aku melangkah secepat mungkin karena air mataku sudah tak bisa terbandung lagi, ternyata seperti ini rasanya patah hati, aku tidak pernah membayangkan sebelumnya tapi sekarang aku merasakan bagaimana rasanya.
Selama ini aku terlalu berharap banyak dari Adit, aku menyangka kalau selama ini dia memiliki perasaan yang sama seperti yang aku rasakan padahal itu belum tentu, mungkin dia hanya menginginkan teman, hanya sebatas teman biasa, tidak lebih, sedangkan aku dari awal berjumpa sudah menyukainya, seharusnya aku bersyukur bisa menjadi temannya, aku tidak mungkin menghilangkan perasaan ini, aku tidak mampu untuk menjauh darinya, mungkin aku harus merasa cukup walau hanya sebagai temannya, kalau dengan berteman saja aku bisa dekat kenapa tidak? toh yang kuinginkan adalah selalu bisa dekat dengannya dan selalu berada disampingnya.
Berulang kali aku berpikir. Otakku sampai kejang-kejang dibuatnya. Tak mungkin aku akan terus di sampingnya tanpa aku mendapatkannya. Itu hal mustahil. Aku benar-benar mencintainya. Kuulang sekali lagi kalau perlu. Namun, sebenarnya perasaan ini yang akan membunuhku pelan-pelan saat semua terbuyar.
Beberapa hari ini aku tak melihat Adit di kampus. Maklum saja dia memang sedikit sibuk dibanding mahasiswa lain. Selain urusan sanggar lukis, urusan pekerjaan, sampai tugas kuliah. Ia juga sedang ada masalah besar dengan rektorat kampus. Masalah lukisan tentunya. Ada salah seorang temannya di sanggar membuat karikatur Rektor, dan masalah itu pula yang memboyongnya mendapat surat teguran. Hanya itu yang pernah ia ceritakan padaku. Aku ingin sekali melihat senyumnya yang lebar dan mata elangnya menyipit. Kalau aku bilang rindu, mungkin saja iya. Tapi aku yakin ia tak pedulikan itu. Yakin benar.
“Arini… mau kemana? Ih...aku dari tadi nyari kamu.” Dinda terengah-engah mengejarku saat aku melintas di depan sanggar. Rupanya dia ada disana.
“Ada apa Din?”
“Kamu lihat Kak Adit nggak minggu-minggu ini?” tak juga aku mengerti. Namun hatiku telah merasakan hawa tak nyaman. Aku menggelengkan kepala.
“Dia, berhenti kuliah…di DO” mataku membulat seperti mau lepas. Seluruh darah dan urat nadiku serasa putus. Persendian tulangku ngilu tak karuan. Hatiku telah remuk.

Tidak ada komentar: