Rabu, 15 April 2009

Perasaanku akhir-akhir ini benar-benar tak menentu, aku bingung harus berbagi dengan siapa karena ternyata disimpan sendiri begitu menyakitkan dan membuat menderita, kepala rasanya mau meledak, beban ini terasa begitu berat.
Sebenarnya dimana letak kesalahanku sehingga membuat seseorang yang berarti dalam hidupku mendiamkanku seperti ini, apa kesalahanku terlalu besar sehingga dia memperlakukanku begini.
Jujur aku sangat menderita, menderita karena tak dapat melihat senyumannya, candaannya, perhatiannya, ledekannya, semua yang ada pada dirinya untuk sekarang ini aku tak dapat menyaksikan itu semua.
Otakku benar-benar sudah terasa berat...
Setiap kali mengingatnya hanya air mata yang mengalir menahan sakitnya memendam kerinduan, sebenarnya aku tak ingin menjadi sosok yang cengeng dan terlihat begitu lemah, namun ternyata kenyataannya memang begitu, tak bisa dipungkiri batapa rapuhnya aku.
Aku selalu berusaha menahan supaya air mata ini tak menetes tapi rupanya kesakitan selalu menjalari batinku....
Ternyata sesakit ini.....
Aku berharap semuanya bisa berakhir dengan cepat....
Aku merasa sudah tak kuat menahannya, memikulnya sendirian.....
Aku mencintainya....sangat mencintainya...
Begitu menyayanginya....
Sekarang aku tak berharap dia memiliki perasaan yang sama...
Seandainya dia bahagia tanpaku, aku akan berusaha untuk bahagia untuknya dan perasaan ini akan kusimpan untuk mengisi hari-hariku yang semoga dipenuhi dengan kebahagiaan...

Senin, 13 April 2009

perasaanku sekarang ini lagi nggak enak, kenapa? nggak tahu lah, yang jelas kepalaku terasa sangat berat seperti sedang menopang batu besar, pusing sekali, berat sekali, namun aku tak tahu tempat berbagi untuk meringankan beban ini, mungkin hanya dengan menulis merupakan salah satu cara meringankan beban yang selama ini aku pikul sendiri, aku sangat menyayangi seseorang dan tak pernah mau kehilangan dia, tapi sepertinya dia tak mampu terus berada di sisiku, mungkin karena aku sangat menjengkelkan sehingga membuatnya menjadi beban saja, padahal aku ingin sekali membahagiakannya tapi justru aku nggak tahu bagaimana caranya, apa aku benar-benar mencintainya atau hanya ingin memilikinya, bukankah mencintai dan ingin memiliki adalah dua hal yang berbeda??

Senin, 06 April 2009

Jangan Biarkan Aku Pergi

Siang ini seusai kuliah aku mampir ke kantin kampus, sebelumnya kuraih Koran dan memberikan uang seribuan pada kasir, kemudian aku melangkah menuju kursi kosong lalu duduk dan membuka Koran yang baru saja kubeli, berita yang terlampir masih seperti berita-berita seperti hari-hari sebelumnya, seputar kasus korupsi, bencana alam, politik, olahraga.

Tiba-tiba datang dua sosok makhluk yang sudah tidak asing lagi bagiku, Revan yang setelah kuingat-ingat sudah hampir setahun ini menempati ruang khusus di hatiku dan teman dekatnya Aril menghampiriku.

“Nggak ada kuliah lagi?” tanya Revan padaku, sudah tak terhitung berapa kali pertanyaan itu terlontar dari mulutnya, karena pertanyaan itulah yang mengawali perbincangan diantara kami saat bertemu.

Aku menggeleng tanpa mengalihkan pandanganku dari Koran yang ternyata ada satu berita menarik perhatianku tapi tiba-tiba Revan mengambil koranku tanpa meminta ijin terlebih dahulu, aku hanya bisa menghela napas menatapnya, sedangkan dia dengan serius membolak-balik Koran itu tanpa memperdulikanku.

“Masih ada kuliah nggak Ril?” tanyaku pada Aril yang selalu sibuk dengan handphone di tangannya, kalau tidak menelpon pasti mengetik sms.

“Nggak ada” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya karena dia sibuk mengetik sms, mungkin untuk pacarnya.

“Nggak ada berita yang seru” Revan melempar koranku, dia mengambil sebatang rokok dari dalam tasnya segera menyulut lalu menghisapnya.

Aku kembali menatapnya yang bersikap cuek.

“Bentar ya aku mau pesan kopi dulu” kata Aril sambil berlalu dari hadapan kami.

“Kemarin kemana kok nggak masuk?” tanyaku pada Revan yang sepertinya sedang menikmati rokoknya sambil sesekali mengepulkan asap rokok ke arahku, meski aku sudah terbatuk-batuk sambil mengibas-ngibaskan tanganku tapi dia nampak tak perduli, mungkin hal ini salah satu candaannya, bercanda yang sangat merugikan.

“Kerjaanku banyak” jawabnya singkat, dia kuliah sambil kerja dan hasil kerjanya itulah untuk biaya kuliahnya, ini salah satu yang membuatku bangga terhadapnya.

Dia menarik kembali koranku, kini dia membacanya.

Aku menatapnya lekat, entah kenapa aku bisa menyukai seseorang yang sekarang ini sedang duduk di hadapanku, dia yang memiliki banyak kesibukan sehingga tidak punya banyak waktu untukku, dari mulai kuliah, kerja, menghadiri acara organisasi atau komunitas, belum lagi dia memikirkan kehidupannya, ditambah lagi aku yang menjabat sebagai kekasihnya tentu saja harus dipikirkannya pula, tapi apa pernah dia memikirkanku? Kenapa aku bertanya seperti itu, tentu saja dia memikirkanku, kalau tidak mana mungkin dia mencoba menyempatkan waktu di tengah-tengah kesibukannya hanya untuk sekedar menemuiku meski hanya sebentar, dia yang selalu bersikap seenaknya, dia yang bukan tipe cowok romantis, dia yang tak pernah mau mengejarku saat aku pergi dalam keadaan marah, dia yang tidak suka basa-basi, dia yang tidak suka menunggu, dia yang tidak mudah mengucapkan kata maaf, dan dia yang tak kan pernah memberikan satu kesempatan lagi pada orang yang telah melakukan hal yang tak disukainya.

“Kopi datang” kata Aril tiba-tiba, dia mengocek-ngocek kopinya, ponselnya kembali berbunyi tanda sms masuk, kedua alisnya berkerut saat membaca sms itu.

“Aku pergi dulu ya” dia berdiri dari kursinya.

“Mau kemana?” tanya Revan.

“Nanda minta diantar ke rumah temannya” jawab Aril sambil tergesa-gesa lalu pergi.

“Kopinya?!” teriak Revan.

“Buat kamu aja!!” teriaknya pula.

Aku memandang Aril yang berlari dengan cepat meninggalkan kami, sedangkan Revan kembali membaca Koran dengan rokok masih terapit di kedua jarinya.

Aril memang seperti itu, dia selalu ada saat Nanda membutuhkannya, dalam keadaan apa pun, sesibuk apa pun, kadang perasaan iri terbesit di benakku pada Nanda, sepertinya dia sangat beruntung bisa mendapatkan Aril, berbeda sekali dengan sosok Revan, rasanya jahat sekali aku membandingkan antara Revan dengan Aril, meski semua orang tak sama tapi cewek mana sih yang tidak senang mempunyai seseorang seperti sosok Aril, tapi kenapa aku malah menyukai Revan.

“Heh! Kok bengong? Kenapa?”

Aku tersadar dari pikiranku.

“Ehm…nggak, Aril tuh…segitunya ya..sama ceweknya..selalu siap siaga, kopi yang baru di pesannya aja belum sempat di minum tapi langsung pergi aja saat ada sms dari Nanda.”

“Kalau aku sih nggak bakalan mau kecuali kalau emang penting banget, pergi ke rumah teman kan bisa sendiri” katanya lalu kembali tertuju pada Koran di tangannya, itulah Revan, selagi aku bisa melakukan sesuatu hal sendiri, dia tidak akan mau membantuku.

“Kenapa? Kamu pengen punya cowok kayak Aril? Ya udah! Sana! Sama Aril aja.”

Aku terdiam menatapnya.

“Nggak suka punya cowok aku? Atau kamu nyesel? Ya….aku nggak mau membebani kamu, kalau kamu ngerasa nggak nyaman sama aku, kamu boleh kok cari cowok lain.”

Aku masih terdiam menatapnya, dia membalas tatapanku.

“Kok malah cemberut gitu?”

“Aku nggak suka kamu ngomong kayak gitu!”

“Aku cuma nggak mau…..”

“Revan! Nggak ada topik lain ya?!”

Dia menghela napas menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi lalu kembali mengambil sebatang rokok dari dalam tasnya, beberapa detik kemudian asap rokok sudah mengepul di hadapanku.

“Aku nggak mau membebani kamu Aya, aku nggak mungkin membiarkan kamu tetap disisiku padahal kamu merasa nggak nyaman, egois banget kan kalau aku bersikap seperti itu? Jadi ya…aku memberi kebebasan sama kamu.”

“Kenapa kamu selalu bilang seperti itu?”

“Ya…karena aku nggak mau kamu menyesal.”

“Kalau aku menyesal, nggak mungkin kita bisa menjalin hubungan selama ini, aku tahu betul bagaimana kamu dan aku berusaha untuk bisa menerima semua yang ada pada diri kamu tapi kenapa seolah-olah kamu tuh nggak percaya.”

“Bukannya aku nggak percaya, tapi…”

“Aku mau pulang!”

“Pembicaraan kita belum selesai.”

Aku berdiri dari kursiku.

“Kamu jangan kekanak-kanakan gini dong Ya!”

“Apa?! Kekanak-kanakan? Kamu tuh yang keterlaluan!!” kataku sambil berlalu dari hadapannya dan seperti biasa dia tak pernah mengejarku, membiarkanku pergi, dia selalu membiarkanku pergi saat aku marah.

Keesokan harinya Revan datang ke rumahku.

Setelah beberapa lama dalam keheningan akhirnya dia membuka mulut.

“Sory kalau aku nggak bisa jadi cowok kebanyakan, aku nggak bisa selalu ada saat kamu butuhkan karena kamu tahu sendiri kan gimana kegiatanku sehari-hari, jadi aku pengen kamu jujur kalau emang kamu keberatan, kamu boleh cari cowok lain yang mungkin bisa banyak meluangkan waktu untuk menemani kamu.”

“Revan, kamu selalu aja ngomong kayak gitu.”

“Aku nggak mau kalau hubungan kita ternyata hanya menjadi beban buat kamu.”

Aku menghela napas.

“Oke, kadang aku merasa kesepian karena kamu nggak punya banyak waktu buat aku, kadang aku berpikir kenapa kamu nggak bisa jadi cowok kebanyakan, kenapa kamu nggak pernah bersikap manis atau romantis, aku nggak suka sikap kamu yang semau kamu sendiri, aku nggak suka kamu terlalu banyak bercanda, aku nggak suka kamu ngerokok di depan aku, aku nggak suka sikap kamu yang seolah-olah nggak perduli, aku nggak suka kalau kamu bicara kasar, aku nggak suka semua itu!” cerocosku dengan napas terengah-engah, agak sedikit lega rupanya setelah aku mengeluarkan hal yang menjadi unek-unek dalam diriku selama ini.

Dia mengangguk.

“Sekarang semuanya udah jelas, aku ngerti.” Dia berdiri lalu melangkah pergi meninggalkanku.

“Meski aku nggak suka tapi aku bisa menerima semua itu.”

Dia menghentikan langkahnya.

“Karena aku sadar, betapa aku sangat menyayangi kamu dan aku nggak mau kehilangan kamu.”

Dia membalikkan tubuhnya menatapku.

“Tapi kenapa kamu selalu menyuruhku pergi dengan alasan memberikan kebebasan dan nggak mau membebaniku? Kenapa kamu nggak pernah mempertahankan hubungan kita dengan segala kekurangan yang ada? Kenapa kamu nggak pernah bilang supaya aku tetap berada disamping kamu bagaimana pun keadaannya? Kenapa kamu nggak pernah mencoba untuk menghentikan langkahku disaat aku pergi meninggalkan kamu dalam keadaan marah? Kenapa kamu selalu membiarkan aku pergi? Kenapa tidak mencegahku?” sebening air menggenangi kedua bola mataku.

Waktu terasa terhenti dan kami hanya terdiam saling beradu pandang.

Selasa 24 Maret 2009